Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tiga Alasan "Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali" Layak Dinanti

16 Januari 2021   11:31 Diperbarui: 16 Januari 2021   11:31 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film apa yang akan tayang pada awal tahun 2021 ini? Jika yang ingin Anda cari adalah film Indonesia yang penuh makna, "Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali" adalah jawabannya.

Generasi Z mungkin belum pernah membaca novel "Burung-Burung Manyar". Maklum. Novel anggitan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya itu memang terbit tahun 1981. Dari novel ini, Romo Mangun dijuluki si Burung Manyar.

Mungkin kala membaca nama Yusuf Bilyarta Mangunwijaya pun, banyak generasi muda mengernyitkan dahi. Siapa dia? Nah, justru dengan menonton film dokudrama "Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali" ini, rasa penasaran akan mendapatkan obatnya.

tangkap layar klip musik Sang Manyar via YouTube-dokpri
tangkap layar klip musik Sang Manyar via YouTube-dokpri
Ada tiga alasan mengapa "Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali" layak dinanti sebagai film inspiratif pada awal 2021 ini:

Pertama, ini film pertama tentang Romo Mangun

YB Mangunwijaya atau Romo Mangun adalah sosok yang sangat inspiratif. Kisah hidup beliau penuh liku. Ia lahir di Kota Palagan Ambarawa pada 6 Mei 1929. Beliau wafat di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun.

Semasa hidupnya, Romo Mangun pernah menjadi tentara pelajar yang ikut berjuang mengusir penjajah. Pada usia 16 tahun, ia sudah merelakan diri jadi serdadu muda pejuang kemerdekaan. Tangsi pertamanya adalah Benteng Vredeburg di Yogyakarta. 

Mangun lantas memutuskan untuk menjadi calon pastor Katolik. Ia merasa telah banyak dibantu orang kecil semasa perang. Ia ingin membalas budi rakyat kecil dengan menjadi pelayan sesama manusia. 

Mangunwijaya ternyata juga memiliki bakat sastra istimewa. Ia menulis adikarya yang tak lekang oleh zaman. Sebut saja novel "Burung-Burung Manyar" (1981), "Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa" (1983), "Durga Umayi" (1985), "Burung-Burung Rantau" (1992), dan buku pamungkas "Impian dari Yogyakarta" (posthumous, 2003).

Namun, Romo Mangun bukan sekadar sastrawan. Ia adalah pastor, arsitek, tokoh pendidikan, sekaligus pejuang kemanusiaan. 

Di masa Orde Baru nan represif, Romo Mangun tampil sebagai tokoh yang berani menyuarakan suara rakyat tertindas. Bisa dibayangkan, besarnya risiko perjuangan Romo Mangun kala membela korban pembangunan Waduk Kedungombo dan penataan Kali Code kala itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun