Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Salahkah Menulis untuk Jadi Viral dan Eksis?

15 Januari 2021   10:50 Diperbarui: 15 Januari 2021   10:50 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada ribuan alasan mengapa seseorang menjadi penulis. Mulai dari alasan mencari penghasilan sampai mencari kebahagiaan. Mencari ketenaran. Mencari kawan. Semua sah-sah saja.

Ada yang mungkin menilai, penulis yang mencari uang itu kurang mulia. Eits, nanti dulu. Siapa tidak perlu uang? Uang pada dirinya sendiri netral. Ia bisa menjadi sarana berbuat baik dan jahat. Tergantung manusia yang memakainya, bukan?

Menulis untuk jadi terkenal pun sah-sah saja. Keterkenalan pada dirinya sendiri juga netral. Ada orang yang merasa perlu dikenal publik karena memang dia ingin membawa kebaikan melalui pengaruhnya. Ada pula yang ingin tenar untuk kepuasan diri. Tergantung pada pribadi yang memaknai dan menggunakan keterkenalan itu.

Menjadi penulis untuk cari uang dan jadi terkenal, salahkah?

Menjadi penulis untuk cari uang dan jadi terkenal itu bukan dosa dan bukan pula pelanggaran hukum. Menjadi berpenghasilan dan tenar melalui tulisan sejatinya menawarkan akses untuk semakin berbagi kebaikan. Ini jika kita sadari dengan nurani yang jernih.

Saat ini jejak digital seseorang menjadi sangat menentukan. Banyak perusahaan melakukan penyelidikan terhadap para calon pekerja melalui rekam jejak yang mereka tinggalkan. Termasuk rekam jejak sebagai penulis, entah tulisan receh di blog pribadi atau tulisan serius di media nasional.

Menulis untuk menabung rekam jejak positif sangatlah mulia. Dalam arti tertentu, kemampuan diri memang perlu kita tunjukkan, bukan kita sembunyikan. 

Ibarat lentera, bakat-bakat dalam diri perlu kita asah dan tunjukkan pada dunia, juga melalui tulisan.

Apakah guna lentera yang disimpan di balik lemari? Cahayanya tidak berguna untuk menerangi dunia. 

Penulis dan tiga kriteria moral tindakan yang baik

Ada tiga kriteria moral universal tindakan yang baik. Pertama, niat baik. Kedua, cara atau sarana yang digunakan juga baik. Ketiga, hasilnya (biasanya) juga baik. Tiga kriteria ini bisa menjadi patokan bagi setiap insan, termasuk penulis.

Mari kita dalami contoh tiga kriteria moral tindakan yang luhur di atas. Umpama:

Seorang penulis berniat luhur ingin mendapat uang untuk membantu keluarganya. Cara yang ia tempuh: Ia menjiplak dan merekayasa. Dampaknya: Ia dapat uang banyak, tetapi dengan merugikan orang lain.

Niat tindakan itu baik. Caranya salah. Hasilnya tidak murni baik. Kesimpulan: tindakan penulis itu secara keseluruhan tidak baik karena tidak memenuhi tiga kriteria moral tindakan yang baik.

Penulis dan hasrat untuk eksis

Siapa sih yang tidak ingin viral dan eksis? Apalagi di zaman serba digital ini, kita hidup dalam ilusi keterkenalan di media sosial. Jika kita tidak cermat, kita sebagai penulis bisa terjebak dalam hasrat berlebihan untuk eksis.

Hasrat untuk diakui dan dipuji secara berlebihan bisa menjadi candu bagi penulis.

Ini yang perlu kita waspadai. Demi menjadi tenar dan eksis, kadang ada godaan untuk menempuh cara-cara yang kurang atau tidak terpuji. 


Penulis seharusnya humanis dan manis

Saya punya keyakinan, pada dasarnya para penulis itu insan humanis. 

Untuk menjadi penulis, seseorang perlu peka terhadap perasaan diri sendiri dan juga orang lain. 

Mustahil menjadi penulis tanpa memperhatikan gejolak perasaan dan kelindan gagasan dalam benak. Cobalah menulis tanpa perasaan manusiawi, hasilnya akan ganjil.

Nah, penulis sebagai insan humanis seharusnya juga bersikap manis. Ramah, santun, rendah hati, jujur. Semua keutamaan yang diajarkan agama-agama perlu dimiliki penulis. Tanpanya, penulis kehilangan jati dirinya yang humanis.

Mohon maaf, saya pun sering gagal menjadi penulis humanis yang manis. Menulis ungkapan hati ini bukan berarti saya sudah sempurna. Justru saya menyadari, betapa jauhnya kenyataan diri dari idealisme yang saya tulis sendiri.

Salam hormat untuk seluruh rekan penulis dan pembaca Kompasiana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun