Mengapa? Pandangan umum pada zaman itu menganggap para gembala sama dengan perusak tanaman orang. Para gembala dianggap membiarkan begitu saja ternak mereka memakan tanaman di kebun orang.Â
Menurut para rabi, golongan perusak seperti para gembala tidak layak dijadikan saksi dalam pengadilan. Padahal, tidak semua gembala bertindak ngawur seperti yang dituduhkan!Â
Mirip para pemulung yang sering kita samakan dengan pencuri. Di jalan masuk perumahan dan desa, mungkin ada papan "Pemulung dilarang masuk!"
 Tunggu dulu, bagaimana dengan pemulung yang jujur?
Mungkin harus kita revisi papan yang diam-diam menyakiti hati orang kecil nan jujur itu. "Siapa pun yang jujur silakan masuk" atau "Anda jujur, kami mujur."
Akibat dua alasan di atas (kesulitan memenuhi hukum agama dan cap negatif yang dituduhkan oleh pemuka masyarakat), para gembala digolongkan sebagai kelompok yang tidak bisa dipercaya, yang tidak jujur, yang tidak saleh.Â
Menariknya, Allah mengutus malaikat-Nya untuk menyampaikan kabar sukacita bahwa Yesus lahir pada para gembala. Ini menunjukkan bahwa Allah menghargai kaum yang disingkirkan oleh masyarakat pada umumnya. Allah memilih para gembala yang tersingkir secara sosial dan keagamaan.Â
Allah memilih orang-orang yang dianggap tidak suci oleh masyarakat untuk melaksanakan tugas mulia.
Sungguh mengagumkan, bukan?
Kita menemukan perwujudan keberpihakan Allah terhadap kaum terhina dalam hidup dan karya Yesus. Yesus tak segan makan bersama mereka yang dianggap sampah masyarakat: para pemungut pajak antek penjajah Romawi dan para pendosa berat.
Yesus bahkan memilih sebagian dari mereka untuk menjadi murid dan utusan-Nya. Rupa-rupanya, keberpihakan pada yang dianggap tidak suci ini sudah sejak awal ditampilkan oleh penginjil Lukas dalam kisah kelahiran Yesus.