Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tidak Perlu Malu dengan Tulisan Sendiri yang Masih Amburadul

17 Desember 2020   14:42 Diperbarui: 18 Desember 2020   05:32 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi malu dengan tulisan sendiri - pexels.com

"Aku mau nulis, tapi kok malu, ya? Aku nggak bisa nulis bagus."

"Sudah aku tulis draf naskah, lalu aku baca lagi ternyata amburadul. Nggak jadi, deh aku kirimkan."

Demikian contoh ungkapan banyak calon penulis dan penulis pemula ketika hendak memulai perjalanan sebagai penulis. Biasanya ada rasa malu dan tidak percaya diri.

Sebenarnya perasaan malu dan nggak pede itu biasa saja. Para penulis handal pun kiranya mengalami pada awal perjalanan mereka. Tidak perlu merasa aneh bila rekan-rekan calon penulis dan penulis muda mengalami hal serupa.

Menerima perasaan malu dan kurang percaya diri

Langkah pertama untuk mengatasi perasaan malu dan kurang percaya diri adalah justru dengan menerima, bukan mencoba menghindari perasaan-perasaan itu.

Ungkapkan saja dengan nada humor pada catatan akhir tulisan kita, sejauh memungkinkan. Misalnya di akhir artikel blog pertama kita, kita bisa menulis: "Ini tulisan pertama saya, jujur masih grogi. Ngetik aja jari-jari gemetaran. Mohon bimbingan dan masukan, ya."

Bisa juga ketika mengunggah di medsos, kita beri keterangan: "Duhai netizen mahabenar, jangan bully dulu. Gue masih newbie, nih."

Nekat saja unggah tulisan perdana

Dalam hidup kita perlu nekat juga. Tentu nekat dengan perhitungan. Bukan total nekat. 

Mengunggah tulisan perdana perlu kenekatan.

Pada awal perjalanan menulis, tiap orang perlu nekat mengunggah atau mengirim artikel perdana ke media dan media sosial. Bisa diawali dengan membagikan tulisan di kalangan kerabat dan sahabat. Bisa dimulai dengan menulis untuk media sekolah, kampus, dan media lokal.

Tentu saja, bisa dimulai dengan ngeblog di Kompasiana yang penghuninya warganet super ramah, juga pada warga baru.

Coba pantau reaksi para pembaca dan redaktur atau admin. Jika menulis di blog gotong-royong dengan fitur komentar dan vote seperti Kompasiana ini, kita bisa mendapat apresiasi dan masukan langsung dari pembaca. Juga dari admin dengan pemberian label artikel pilihan dan artikel utama atau headline (HL).

Belajar dari penolakan dan masukan redaksi dan pembaca

Ketika kita mengirim ke media yang mensyaratkan tulisan diseleksi dahulu oleh redaktur, penolakan naskah adalah suatu yang wajar dialami penulis pemula.

Saya pun sudah sering mengalami "penolakan cinta" oleh redaktur media massa lokal maupun nasional. Bahkan ketika tulisan sudah mejeng di media nasional, penolakan masih bisa kita alami. 

Wajar saja ditolak. Yang "tidak wajar" adalah berhenti menulis setelah ditolak.

Bisa terjadi, tulisan kita dikritik habis-habisan oleh redaktur dan atau pembaca. Saya pun sudah mengalaminya. Yang penting, kita mau belajar dari penolakan dan masukan redaksi dan pembaca.

Rendah hati dan jujur: dua keutamaan penulis

Apa dua keutamaan yang wajib dimiliki tiap penulis? Rendah hati dan jujur. 

Rendah hati untuk belajar dari yang lebih bagus dan berpengalaman. Tidak marah dan tidak putus asa ketika tulisan kurang disambut pembaca dan admin.

Jujur dengan diri sendiri dan orang lain. Tidak merekayasa sesuatu yang bukan sungguh buah usaha kita. Tidak melakukan kecurangan dalam bentuk apa pun. Copy paste (salin tampal), mendaku tulisan orang sebagai tulisan sendiri, memuat ulang tulisan orang tanpa izin, merekayasa sedemikian rupa agar tulisan terpopuler, dsb.

Kita perlu ingat, rekam jejak kita selalu dipantau dan diingat orang.

Sekali saja kita melakukan kecurangan, kita akan diingat sebagai penulis yang tidak jujur meskipun kita kemudian meminta maaf dan dimaafkan.

Ibarat mantan preman yang bertobat, orang memang memuji pertobatannya dan kebaikannya. Akan tetapi, tetap saja dalam memori orang, dia adalah mantan preman. 

Memori sulit sekali dihapus. Oleh karena itu, kita perlu membangun memori yang indah sejak awal perjalanan kita sebagai penulis.

Biarlah orang menilai kita sebagai penulis yang tulisannya amburadul namun jujur dan tekun berproses. 

Ini lebih mulia dari penulis yang lihai merekayasa dan menikmati kejayaan dan pujian semu. Oleh karena itu, mari belajar dan setia menempa diri dengan rendah hati sebagai penulis (pemula).

Tiada guna menipu diri dengan rekayasa. Tulis saja sesuai kemampuan terbaik. Jika pernah melakukan kesalahan, misalnya dengan menjiplak dan atau merekayasa, mari segera bertobat sebelum terlambat.

Jangan dikira, tidak ada yang tahu rekayasa kita. Sebagai insan beriman, kita percaya ada Dia yang Maha Mengetahui. Selain itu, peribahasa mengajarkan, "Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga."

Mari kita saling belajar dan berbagi ilmu, juga di Kompasiana ini. Salam hormat dan salam santun. R.B.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun