Setelah negara tersebut "berhasil" diduduki, ternyata tidak ditemukan cukup bukti adanya fasilitas senjata pemusnah massal. Nah, lalu bagaimana ini? Dampak korban jiwa dan luka sudah telanjur banyak. Tak terhitung betapa banyak keluarga dan anak kehilangan orang tua akibat perang.
Lagi-lagi, faktor kerakusan ekonomi menjadi alasan utama yang dibalut motivasi "suci".
Diplomasi dan dangdut damai
Sejatinya ada solusi kuno yang cukup manjur bila dijalankan dengan jujur. Diplomasi alih-alih berperang. Toh ada juga PBB dan aneka lembaga internasional yang siap menjadi perantara dialog dan diplomasi.
Zaman kiwari, dunia ini sudah cukup menderita akibat pandemi, kemiskinan, dan kelaparan. Untuk apa menambah duka dan luka?Â
Di dalam negeri kita Indonesia tercinta, kita juga punya jutaan masalah bersama. Pengangguran, stunting, narkoba, dan banyak lagi.
Untuk apa saling membenci dan "berperang" melawan saudara setanah air sendiri?
Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Lebih mantap lagi, daripada berperang, mari kita berdendang dan bergoyang. Karena pandemi, goyang virtual saja dulu di rumah masing-masing.
Pojokhati, R.B. 21 November 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H