Seribu pohon tumbuh dengan tenang di hutan dan memberi manfaat bagi dunia. Tak seorang pun memuji. Sementara itu, satu pohon tumbang di tepi jalan kota, seisi kota mencaci.
Demikianlah yang terjadi dengan para pemuka agama. Seribu pemuka agama baik, dianggap wajar dan tak pernah diviralkan media arus utama. Satu dua oknum pemuka agama jatuh dalam hal kontroversial, langsung banyak orang mencela. Yang dicela bukan hanya si oknum, tetapi para pemuka agama lain yang tidak salah apa-apa.
Tak jarang, orang ikut mencela agamanya juga. Padahal, sekali lagi kelakuan oknum pemuka agama atau oknum umat beragama tidak mencerminkan kualitas seluruh pemuka agama dan umat beragama terkait. Nila setitik, rusak susu sebelanga.
Salah satu sebab krisis beriman adalah saat kita kecewa melihat praktik hidup sejumlah oknum pemuka agama. Saya pikir, dalam komunitas keagamaan mana pun, selalu ada krisis dan skandal terkait polah tingkah oknum pemuka agama.
Bagaimana reaksi yang tepat kala menghadapi krisis kepercayaan akibat kelakuan sosok oknum pemuka agama yang kurang baik? Haruskah pertumbuhan iman kita berhenti akibat melihat figur oknum pemuka agama?
James Fowler dan studi tahap perkembangan iman
Dalam perjalanan mencari makna hidup, saya berjumpa dengan gagasan James W. Fowler. Seorang pemuka agama kelahiran North Carolina, Amerika Serikat pada 12 Oktober 1940 ini merintis teori perkembangan iman atau the stages of faith.
Sebelum wafatnya pada 16 Oktober 2015, James Fowler telah menulis aneka buku bermutu. Salah satunya adalah Stages of Faith, The Psychology of Human Development and the Quest for Meaning (1981).
Buku ini lahir dari penelitian panjang yang telah diawali sejak tahun 1972. Studi tahap perkembangan iman itu melibatkan lebih dari 500 orang, mulai dari yang masih berumur 4 hingga 88 tahun. Rentang usia ini memungkinkan Fowler menyajikan tahap-tahap perkembangan iman.
Tahap-tahap perkembangan iman
Dalam buku Stages of Faith (1981), James W. Fowler mengembangkan teori kematangan iman berdasarkan tahap-tahap yang telah diusulkan oleh Piaget dan Kohlberg. Teori ini dapat diterapkan pada mereka yang menganut agama-agama tradisional maupun mereka yang menganut spiritualitas alternatif atau sekular.
Tahap Nol
Dalam pandangan James W. Fowler, iman adalah sesuatu yang universal dalam diri tiap orang. Iman sekaligus juga sesuatu yang relasional dan sosial. Beriman (faithing-dalam istilah Fowler) mengandaikan komunitas, bahasa, ritual, dan pendidikan.
James Fowler berpendapat, perjalanan seseorang dalam beriman telah dimulai bahkan sejak masih dalam kandungan. Seorang bayi merasakan kehadiran ibu yang membuatnya merasa dikasihi.
Pada saat ini, iman masih berada pada tahap primal faith, dimana iman masih belum terdiferensiasi (undifferentiated faith) dan belum terkait dengan kata-kata (preverbal).
Tahap-tahap berikutnya:
1. Intuitif-Proyektif (Intuitive-Projective)
Tahap ini dialami anak-anak prasekolah (umumnya umur 3-7 tahun) yang kerap mencampur-adukkan fantasi dan kenyataan. Selama tahap ini, gagasan yang kita miliki tentang Tuhan kita terima dari orang tua dan atau masyarakat.
Seorang anak mulai menyadari ada kematian, seks dan tabu yang ditetapkan keluarga dan budaya masyarakatnya. Iman pada tahap intuitif-proyektif ini lekat dengan fantasi.
2. Mitis-Literal (Mythic-Literal)
Saat anak-anak mulai dididik di sekolah, mereka mulai memahami dunia secara logis. Mereka umumnya menerima kisah yang diceritakan pada mereka oleh komunitas beriman. Ada kecenderungan menangkap kisah –kisah itu secara sangat harfiah.
Sebagian kecil orang tetap berada pada tahap ini meskipun telah beranjak dewasa. Bahkan ada mahasiswa yang perkembangan imannya mentok pada tahap mitis-literal ini.
3. Sintetis-Konvensional (Synthetic-Conventional)
Sebagian besar orang bertransisi ke tahap ini saat masa remaja. Tahap ini umumnya dialami sejak usai 12 tahun hingga dewasa. Pada tahap ini, orang mulai memiliki sejumlah lingkaran sosial.
Meski demikian, di tahap ini, orang cenderung mengalami kesulitan untuk melihat di luar dunia mereka dan tidak menyadari bahwa mereka ada “di dalam” suatu sistem kepercayaan.
Pada tahap ketiga ini, otoritas keagamaan biasanya disematkan pada pribadi-pribadi tokoh atau pemuka agama atau kelompok yang mewakili kepercayaan seseorang. Sayangnya, inilah tahap di mana banyak orang berhenti bertumbuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi transisi iman seseorang ke tahap selanjutnya (tahap keempat) antara lain: adanya perjumpaan dengan pengalaman atau perspektif yang membawa pada refleksi kritis pada kepercayaan/agamanya; kekecewaan besar terhadap pemimpin agama panutannya, atau bisa juga karena pengalaman remaja kabur dari rumah.
4. Individuatif-Reflektif (Individuative-Reflective)
Tahap ini adalah tahap yang sulit. Tahap ini sering dimulai pada masa dewasa muda, saat orang mulai melihat di luar "kotak (agama)nya" dan menyadari bahwa ada kotak-kotak (agama dan kepercayaan) yang lain. Orang mulai secara kritis menimbang-nimbang imannya.
Iman pada tahapan ini sudah bersifat otonom. Ada kemampuan melakukan refleksi kritis. Namun, bahaya pada tahap ini adalah orang bisa cenderung mengagungkan rasionya.
5. Iman Konjungtif (Conjunctive Faith)
Tahap ini umumnya dialami orang paruh-baya dan selanjutnya. Pada tahap ini, orang mulai menyadari batas logika dan mulai menerima hal-hal yang bertentangan dalam kehidupan.
Orang mulai melihat hidup sebagai misteri dan sering kembali ke cerita-cerita dan simbol-simbol suci, namun kali ini tanpa terkurung pada “kotak teologis”.
6. Iman Menguniversal (Universalizing Faith)
Hanya beberapa orang saja yang mencapai tahap ini. Fowler menyebut insan mulia seperti Gandhi, Martin Luther King, Jr., Mother Teresa dari Kalkuta, Thomas Merton, dan Dietrich Bonhoeffer sebagai contoh orang-orang yang mencapai Iman Menguniversal (Fowler, 201).
Perspektif dan tindakan orang-orang beriman menguniversal ini sering bertentangan dengan budaya sekitarnya.
Mereka melihat semua orang sebagai bagian dari satu keluarga universal.
Iman menguniversal adalah iman yang toleran. Iman tahap paling tinggi dalam teori James Fowler ini mengandaikan penghargaan dan kasih pada yang berlainan agama dan kepercayaan.
Pribadi pada tahap ini bukan berarti sudah sempurna. Orang yang mencapai tahap iman menguniversal ini tetap insan biasa yang lemah.
Akan tetapi, orang yang telah matang imannya ini rela mengorbankan hidupnya bagi kepentingan orang lain demi mewujudkan cinta dan keadilan yang absolut.
Insan beriman matang menyadari bahwa kebenaran melampaui klaim eksklusif oleh satu kelompok agama atau golongan tertentu saja.
Penting dicatat, perkembangan iman ini tidak selalu terjadi secara otomatis. Tidak semua orang mencapai tahap-tahap berikutnya hingga tahap terakhir. Peran keluarga dan komunitas amat penting dalam perkembangan iman seseorang.
Relevansi bagi saya dan Anda
Siapa tidak ikut malu ketika mendengar sebagian pemuka agama melakukan hal-hal yang memalukan? Siapa yang tidak ikut prihatin mendengar skandal-skandal pemuka agama dan lembaga agama?
Tentu saja, kita merindukan pemuka-pemuka agama yang melakukan ajaran luhur yang mereka wartakan. Akan tetapi, toh para pemuka agama juga manusia. Seperti kita. Kecewa, marah, malu atas ulah oknum pemuka agama kiranya hal wajar.
Iman kita tidak boleh berhenti bertumbuh hanya karena kecewa atas ulah oknum pemuka agama.
Dalam tahap-tahap perkembangan iman menurut James W. Fowler, orang yang masih terpaku pada sosok pemuka agama dan lembaga agama masih berada pada tahap ketiga (sintetis-konvensional). Artinya, masih cukup jauh dari tahap keenam (iman menguniversal), tahap kedewasaan iman.
Seorang yang matang imannya kiranya rela berkorban diri, bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya.
Insan beriman dewasa kiranya memahami, kebenaran (atau Kebenaran) jauh lebih luas daripada klaim eksklusif kelompok keagamaan tertentu saja.
Salam persaudaraan. Dari seorang yang masih jauh dari iman matang. R.B.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H