"Pecel, pecel, monggo Mas, monggo Mbak,"
seru Simbok penjual pecel dengan suara serak
beradu dengan riuh rendah Stasiun Tugu yang gundah
kala fajar malu-malu merekah di ufuk merah
*
"Mbok, nyuwun setunggal pincuk, nggih,"
pintaku waktu itu, kala Jogja masih lega
belum dijejali motor dan mobil mahasiswa
dan iklan kos-kosan khusus orang kaya
*
"Nuwun, Mas. Mugi-mugi lancar sekolah
lan benjang-benjang pikantuk garwa sholehah"
Haha...itulah doa tulus Mbok Pecel Stasiun Tugu
setelah kubeli seporsi pecel tiga ribu
puluhan tahun lalu di Jogja nan syahdu
*
Kini Mbok-mbok Pecel tak lagi menebar senyum sapa
telah diganti pramugari-pramugara kereta
dengan senyum ramah yang kadang dipaksa
ah, roda zaman memang kejam, saudara!
*
Aku rindu senyum dan doa Mbok Pecel
pembawa kenangan penuh keindahan
kala Sunan Kalijaga dijamu Ki Gede Pamanahan
menyantap ron ingkang dipun pecel
*
Jogja, oh Jogja: satu kota sejuta makna dan rasa:
Konon katanya, Jogja terbuat dari angkringan,
gudeg, pecel, bakpia, aneka penganan
dan tentu saja: rindu dan kenangan akan mantan
***
fajar November. R.B.
nyuwun setunggal pincuk = beli satu porsiÂ
benjang-benjang pikantuk garwa sholehah = semoga besok dapat istri saleh
ron ingkang dipun pecel = dedaunan (sayuran) yang direbus dan diperas airnya
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H