Kita hidup di zaman media. Segala hal dapat kita temukan dalam media massa, baik media massa "kantoran" maupun wadah jurnalisme warga. Baik-buruk. Indah-ngeri.Â
Adakala, kita ingin menyajikan suatu pesan yang pada intinya baik. Misal, mewartakan penghargaan terhadap hak-hak dasariah manusia. Atau, menyampaikan fakta agar pembaca menyadari bahwa dunia tak seindah dongeng Cinderella.
Sayangnya, tidak semua penulis dan jurnalis cukup memiliki kepekaan dalam menyampaikan pesan luhur. Terutama, kala harus menuliskan berita pemerkosaan dan kejahatan seksual.
Rekonstruksi detail pemerkosaan
Beberapa tahun lalu, saya membaca sebuah koran lokal. Judulnya sangat mengundang klik pembaca karena secara vulgar menampakkan detail pemerkosaan.
Ketika isinya saya baca, lebih vulgar lagi. Sang wartawan secara blak-blakan memaparkan rincian tindak kejahatan seksual terhadap korban. Bahkan terkesan dibumbui agar pembaca makin hanyut di dalam fantasi.
Mengapa berita kejahatan seksual laris?
Mengapa berita kejahatan seksual semacam pemerkosaan dan pelecehan seksual laris manis? Sederhana saja. Manusia adalah makhluk seksual. Dalam tinjauan psikoanalisis, sebagian bahkan mengatakan bahwa daya seksual adalah daya paling dominan dalam diri tiap insan.
Apa pun yang berkaitan dengan tema seks menjadi menarik bagi publik.Â
Kode etik jurnalisme
Kita tahu ada kode etik jurnalistik yang sudah disusun oleh aneka lembaga profesi wartawan di Indonesia. Â Masing-masing lembaga menyusun kode etik. Umpama, Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (KEJ-AJI), dan Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia.
Dari belasan pokok Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah disepakati sejumlah organisasi pers, ada dua yang hendak saya kutip di sini:
- Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
- Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.Â
Bagaimana dengan jurnalis warga?
Bagaimana dengan jurnalis warga yang menulis di blog dan situs pribadi? Apakah jurnalis warga juga terikat pada kode etik jurnalistik? Jawabannya tidak sederhana. Pada hemat saya, jawaban atas pertanyaan di atas dapat dibagi berdasarkan sudut pandang berbeda.Â
Pertama, dari sisi etika profesi, seorang jurnalis warga memang tidak terikat pada etika profesi para jurnalis "kantoran".Â
Kedua, dari sisi etika umum, seorang jurnalis warga tetap terikat pada etika umum, misalnya kesopanan, kesantunan, dan empati. Lebih-lebih, ia menulis untuk konsumsi publik. Lain halnya jika ia menulis buku harian yang ia baca sendiri saja.
Empati pada korban dan keluarganya
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima (KBBI V) menakrifkan 'empati' sebagai  'keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain'.
Sementara itu, kata kerja 'berempati' berarti 'melakukan (mempunyai) empati: apabila seseorang mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain, berarti ia sudah mampu berempati.'
Nah, sudahkah jurnalis dan kita sebagai warga yang diam-diam juga berperan sebagai "jurnalis" berempati pada korban pemerkosaan dan keluarganya?
Apakah dengan menuliskan suatu berita pemerkosaan atau pelecehan seksual yang vulgar, sadis, dan sangat rinci, kita berempati pada korban dan keluarga korban?
"Tapi kan ini penting untuk edukasi warga agar tidak meniru kejahatan seksual?" atau "Tapi kan apa yang saya (atau kami) tulis ini sudah banyak diulas media arus utama dengan cara yang sama?" bisa jadi begitu reaksi yang muncul.
Menulis berita pemerkosaan dan kejahatan seksual memang tidak mudah. Bahkan wartawan pun masih ada yang kurang berempati pada korban dan keluarga korban.
Menjawab pernyataan pertama, apakah edukasi harus ditempuh dengan menjabarkan detail peristiwa sehingga pembaca yang tidak mengenal korban pun sampai merasa ngeri? Bayangkan, apa yang dirasakan keluarga korban kala membaca sajian berita semacam itu?
Menanggapi pernyataan kedua, apakah semua yang sudah ditulis orang (baca: media arus utama) harus kita ikuti? Bukankah seorang penulis memiliki kewajiban moral untuk menyaring informasi yang ia dapat dan menyajikan tulisan secara lebih humanis?
Berita kejahatan seksual harus dikemas bagaimana?
Lalu, berita pemerkosaan dan kejahatan seksual harus dikemas bagaimana? Saya bukan wartawan. Saya hanya warga biasa yang suka menulis.Â
Pada hemat saya, seorang penulis harus memperhitungkan hal-hal berikut:
1. Membayangkan diri jadi korban dan keluarga korban
Saat menulis, bayangkanlah diri jadi korban dan keluarga korban. Jika adik perempuan Anda mengalami peristiwa itu, bagaimana Anda akan menuliskan berita tersebut? Tentu dengan penuh empati, bukan?
2. Membayangkan diri jadi pembaca yang (juga bisa) labil
Perlu kita sadari, tulisan yang memenuhi standar kode etik jurnalisme saja bisa menyinggung kalangan pembaca tertentu. Apalagi yang ditulis dengan kurang mengikuti KEJ.Â
Sebagian pembaca adalah pribadi dengan kondisi labil. Bisa jadi mereka pernah mengalami pelecehan seksual dan trauma akibat hal itu.Â
3. Menyampaikan hikmah alih-alih detail kejahatan seksual
Ketika mengulas kejadian bunuh diri, Kompas dan Kompas.com menyajikan pula informasi lembaga pencegahan bunuh diri. Ini teladan kita. Sampaikanlah hikmah, bagaimana seharusnya setiap insan menjauhkan diri dari faktor-faktor pemicu kekerasan seksual. Atau, ajakan untuk lebih peka terhadap isu ini.
Peran media massa dan (blog) warga
Pada akhirnya, media massa dan blog warga seperti Kompasiana pun harus lebih cermat lagi memoderasi berita pemerkosaan dan kekerasan seksual.Â
Amat disayangkan bila sampai terjadi, suatu berita pemerkosaan menjadi viral bukan karena ia penuh hikmah, tetapi justru menonjolkan aspek kengerian dan judul serta isinya yang kurang berempati pada korban dan keluarganya.
Wasana kata, pembaca pun harus kritis. Tak semua berita kejahatan seksual pantas diteruskan di medsos dan grup perpesanan. Jika penyajiannya kurang berempati, masihkah perlu kita bagikan?
Salam literasi. Salam persaudaraan sebagai warga Kompasiana.
Artikel terkait: Mengapa Korban Pemerkosaan Harus "Cantik" (klik saja).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H