Pertama, sederhana itu indah dan membahagiakan.
Saya menerima uang saku bulanan untuk membeli keperluan pribadi. Adapun makan dan biaya kesehatan ditanggung oleh kongregasi/tarekat tempat saya bernaung. Ini juga berasal dari kemurahan hati jemaat.
Di Indonesia, setahu saya beberapa tarekat menetapkan bahwa uang saku biarawan-biarawati tidak boleh melebihi sepertiga gaji seorang pekerja biasa di daerah tersebut. Praktiknya, uang saku yang diterima umumnya tidak besar.
Di tempat pendidikan, lebih ketat lagi. Dulu uang saku kami cuma 25 ribu. Terakhir sebelum selesai pendidikan, naik jadi 50 ribu. Ini masih lumayan. Sejumlah biarawan-biarawati tidak rutin menerima uang saku. Jika perlu sesuatu, baru meminta pada pimpinan setempat.
Sebelum membeli sesuatu yang mahal dan pergi liburan berongkos mahal, seorang biarawan/biarawati harus izin dahulu ke pimpinan dengan pertama-tama mengadakan permenungan pribadi.
"Apakah barang itu perlu untuk menunjang pelayanan? Apakah harus merek itu? Apa harus menghabiskan dana sebanyak itu?"
Semua pendapatan saya yang terkait karya, masuk ke rekening bank bersama. Dari rekening bersama ini, saya mendapat uang saku bulanan dan jaminan hidup yang wajar.
Bagi saya, hidup sederhana itu indah. Bisa merasa cukup dengan apa yang ada itu bahagia.Â
Kedua, sederhana itu kadang merepotkan juga.
Kadang saya alami kesulitan karena gaya hidup sederhana, tanpa gaji tetap dan tanpa rekening bank pribadi. Umpama, ingin membeli barang tertentu, tapi sedang "kanker" (kantong kering) karena uang saku terbatas. Ya harus bersabar menabung dulu agar bisa membeli barang.
Juga sedikit repot kala harus membeli barang secara daring. Kadang harus meminta tolong saudara atau sahabat yang punya rekening bank.