Bulan Oktober menjadi bulan istimewa bagi saya. Tepat setahun lalu, artikel saya dimuat di rubrik bahasa harian Kompas cetak.Â
Tulisan itu bukanlah tulisan pertama yang saya kirimkan ke surat kabar idola sejak remaja. Sebelumnya, saya telah mencoba peruntungan dengan mengirimkan beberapa naskah opini.Â
Hasilnya? Cintaku selalu ditolak. Sakitnya tuh di sini, sayang!
Ternyata, salah saya sendiri. Konon, opini Kompas adalah artikel yang sering dibaca dan dijadikan rujukan oleh banyak orang, termasuk para pembuat kebijakan publik di negeri kita.
Karena itu, hanya opini aktual serta opini yang ditulis penulis berbobot saja yang mendapat prioritas Kompas cetak. Lantas, bagaimana nasib "penulis biasa-biasa saja" seperti saya?Â
Dari Opini ke Rubrik Bahasa
Karena kalah bersaing di rubrik opini Kompas, saya alihkan perhatian ke rubrik bahasa Kompas. Saya tidak sedang mengatakan bahwa mutu rubrik bahasa Kompas lebih rendah dari rubrik opini.Â
Buktinya, anggitan para munsyi (ahli bahasa) dan praktisi bahasa tingkat nasional serta internasional sering tampil di rubrik bahasa Kompas.
Apakah saya bisa bersaing dengan para ahli yang sering menulis artikel rubrik bahasa Kompas? Jujur, pertanyaan ini sempat juga muncul di benak saya sebelum mengirim artikel pertama saya.
Ternyata Bukan Ahli Bahasa Pun Bisa!
Saya bukan ahli bahasa. Â Saya hanyalah warga biasa yang berusaha mencintai bahasa persatuan kita.