Tanggal 2 Oktober adalah hari istimewa bagi kita, masyarakat Indonesia. Hari ini kita peringati sebagai Hari Batik Nasional. Bagaimana sejarah penetapan tanggal ini sebagai Hari Batik Nasional?
Pemerintah Indonesia telah mendaftarkan batik agar mendapat status sebagai warisan budaya nonbendawi atau intangible cultural heritage dari UNESCO pada 4 September 2008.
Upaya Indonesia ini mendapat tanggapan positif dari UNESCO. Badan dunia di bawah PBB ini mengukuhkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi usai sidang ke-4 UNESCO di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009.
Guna meningkatkan kesadaran warga akan nilai luhur batik, pemerintah kita menerbitkan Kepres No 33 Tahun 2009 mengenai hari Batik Nasional. Sekretaris Jenderal Menteri Dalam Negeri waktu itu juga meneken Surat Edaran tentang Pemakaian Baju Batik dalam Rangka Hari Batik Nasional 2 Oktober 2019.
Simpang Siur Asal Batik
Setakat ini, asal batik masih simpang siur. Beberapa sumber mengatakan bahwa teknik membatik bukan asli Indonesia. Laman Britannica, misalnya, mengatakan bahwa teknik membatik dipraktikkan secara luas di kawasan Asia Tenggara.
Memang, laman tersebut lantas merinci bahwa batik memiliki aneka varian lokal. Misalnya, di Pulau Celebes (Sulawesi), lilin diaplikasikan pada kain dengan potongan bambu.
Sementara di Jawa, pada pertengahan abad ke-18, mulai digunakan canting atau wadah tembaga kecil dengan pegangan dan cerat aplikator sempit untuk mengaplikasikan lilin.
Orang-orang Belanda mengimpor kain dan teknik batik ke Eropa. Mulailah proses produksi batik cetak dengan mesin.
Menurut Rasidi, kata batik diduga berasal dari dua kata bahasa Jawa. Pertama, ambatik yang merupakan gabungan amba dan tik (artinya, melukis titik-titik kecil). Kedua, tritik (proses mewarnai kain dengan mengikat atau melipat bagian tertentu agar bagian itu tidak terkena warna).
Saya mencari keterangan mengenai asal-usul kata amba. Salah satu makna kata āmba dalam bahasa Marathi adalah sejenis asam yang diperoleh dengan membungkus tanaman berbunga Cicer arietinum (semacam buncis) dengan kain pada malam hari. Kain ini akan menyerap asam dengan embun. Asam amba ini mungkin digunakan untuk membuat cuka.
Bahasa Marathi adalah salah satu bahasa Indo-Eropa yang memiliki lebih dari 70 juta penutur asli di (terutama) Maharashtra India. Bahasa Marathi berevolusi dari bentuk awal Prakrit, yang merupakan bagian dari bahasa Sanskerta, salah satu bahasa paling kuno di dunia. Demikian informasi dari laman ini.
Saya juga mencoba menelusuri kata tritik yang diduga sebagai asal kata batik. Saya terkejut ketika mendapati kata ini tersua dalam kamus daring Cambridge.
Kamus tepercaya itu menakrifkan tritik sebagai "proses pencelupan untuk mewarnai kain di mana kain tersebut dilipat dan dijahit agar pewarna tidak mengenai beberapa bagian kain".
Lazimnya, sebuah kamus menyerap kata secara utuh dari bahasa sumber karena memang kata itu tidak ada padanannya dalam bahasa sasaran. Kata tritik dapat kita sejajarkan dengan kata durian dan sarong yang diserap bahasa Inggris secara (nyaris) utuh atau tanpa perubahan berarti.
Bukti lain yang memperkuat dugaan bahwa kata tritik itu sungguh berasal dari Indonesia (Nusantara) adalah bahwa salah satu motif batik Jawa bernama tritik. Ini adalah foto motif tritik jumputan:
Menariknya, salah satu bagian dari pakaian adat Yogyakarta adalah lonthong tritik.
Entah kebetulan atau tidak, lokasi itu hanya berjarak sekitar seratus kilometer atau dua jam perjalanan mobil dari Trowulan, pusat Kerajaan Majapahit.
Bagaimana Menanggapi Klaim Negara Lain?
Seandainya ada negara lain yang masih mengklaim batik sebagai produk budaya mereka, bagaimana seharusnya kita menanggapi? Pada hemat saya, cara menanggapinya sangat sederhana.
Tanya saja, apakah ada kata dalam bahasa mereka yang bisa menjelaskan asal kata batik. Lantas, apakah ada produk budaya mereka yang dinamai (mirip) batik sejak dahulu kala. Lalu tanyakan pula, apakah ada nama daerah di negara mereka yang bisa menjelaskan asal kata serupa batik, misalnya kata tritik yang sudah masuk kamus Cambridge.
Berdasarkan hasil penelusuran sederhana ini saja, saya berani bertaruh bahwa penamaan batik memang terkait erat dengan kata ambatik dan atau tritik, dua kata bahasa Jawa, yang didukung produk budaya dan nama lokasi yang masih lestari hingga kini.
UNESCO saja mengakui bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia. Masih ada negara lain yang berani mendaku batik sebagai miliknya? Tak semudah itu, Ferguso! Akan tetapi, tidak perlu kita merundung negara lain secara daring maupun luring. Biarlah diskusi ilmiah yang jadi pedoman kita.
Pernyataan Sanggahan (Disclaimer)
Penulis hanya warga biasa, bukan ahli (sejarah) batik dan bukan pula ahli bahasa. Artikel bersahaja ini penulis harapkan menjadi pemantik diskusi ilmiah. Saya undang para pemerhati sejarah dan bahasa untuk mengulas sejarah batik. Akan jadi menarik bila ahli arkeologi Nusantara ikut membahas topik ini.
Salam cinta budaya! Salam cinta batik Indonesia! Matur nuwun (Terima kasih).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H