Sudah sejak lama saya ingin menulis tentang kata petaloso yang sangat unik. Saya pertama kali mendengar kata ini saat menonton televisi. Intinya, seorang bocah berusia delapan tahun menciptakan kata baru bahasa Italia!
Wow! Bagaimana mungkin seorang anak SD menciptakan kata baru yang segera dimasukkan sebagai lema baru oleh sebuah kamus populer Italia? Sistem pendidikan seperti apa yang membuat hal ini bisa terjadi di Italia?
Matteo Trovò, Si Bocah AjaibÂ
Matteo pada 2016 masih duduk di bangku kelas tiga sebuah sekolah dasar di Provinsi Ferrara, dekat Venezia di Italia Utara. Waktu itu, guru Matteo yang bernama Margherita Aurora memberikan tugas pelajaran bahasa Italia. Anak-anak harus menuliskan dua kata sifat untuk setiap kata benda.
Ibu Aurora mendapati bahwa Matteo Trovò menulis dua kata sifat untuk kata fiore (bunga), yaitu profumato dan petaloso. Menurut Matteo, petaloso adalah kata yang tepat untuk melukiskan bunga yang memiliki banyak kelopak (petalo).
Ibu Aurora lantas membuka-buka aneka kamus untuk mencari apakah ada kata petaloso dalam bahasa Italia. Hasilnya, kata itu belum ada dalam kamus mana pun.Â
Si Ibu Guru memberi tinta merah pada kata petaloso itu. Akan tetapi, ia memuji Matteo yang telah membuat "kesalahan yang indah".  Dalam bahasa Italia, errore bello.
Tanggapan Simpatik Accademi della Crusca
Accademia della Crusca adalah lembaga para sarjana dan ahli linguistik dan filologi bahasa Italia. Lembaga yang menjadi salah satu rujukan studi bahasa Italia ini didirikan di Firenze (Florence) pada 1583 oleh Leonardo Salviati dan sejumlah penulis.
Akademi Crusca memberikan komentar simpatik dalam surat berikut.Â
"Matteo yang terkasih, kamu telah menggabungkan kata petal + oso menjadi petaloso yang artinya penuh kelopak atau dengan banyak kelopak. Jika kamu berhasil menyebarkan kata ciptaanmu kepada banyak orang, kata itu akan menjadi kata dalam bahasa Italia. Bacalah sebuah buku bagus berjudul Drilla (judul asli Frindle). Buku ini ditulis oleh Andrew Clements. Buku Drilla menceritakan kisah seorang anak yang menciptakan kata dan mencoba memasukkannya ke dalam kamus. Terima kasih telah mengirim surel kepada kami."
Kisah Matteo dan kata petaloso menjadi viral di Italia. Guru, orang tua, dan banyak orang mendukung upaya Matteo agar kata ciptaannya semakin dikenal banyak penutur bahasa Italia.
Usaha tulus ini berbuah manis. Kata petaloso viral di Twitter dan aneka media sosial di Italia. Salah satunya berkat peran pemengaruh (influencer) dan warganet Italia dan dunia.
Kata petaloso ini juga akhirnya dimasukkan sebagai kata baru dalam bagian neologisme kamus daring ternama bahasa Italia, Treccani. Sementara itu, kamus lain masih menanti hingga kata ini digunakan secara luas oleh para akademisi.
Lepas dari itu semua, Matteo Trovò telah menerima penghargaan dari Cristina Giachi, wakil walikota Florence. Ia mengatakan, "Matteo layak menerima kusala ini karena meski baru berusia delapan tahun, ia memiliki keberanian dan energi untuk mengekspresikan kreativitasnya."
Bisakah Anak Indonesia Ciptakan Kata Baru?
Setakat ini, KBBI edisi V memuat 127.036 lema. Jumlah lema ini terbilang masih sedikit. Sebagai perbandingan, Oxford English Dictionary berisi entri lengkap untuk 171.476 kata yang digunakan saat ini (dan 47.156 kata usang). Sementara itu, situs Treccani mencatat sekitar 210 ribu kata bahasa Italia.
Bahasa Indonesia masih tergolong "bahasa muda" yang masih memerlukan banyak kata baru. Masyarakat warga sejatinya diharapkan menjadi penyumbang kata baru. Para pelajar dan generasi muda Indonesia sangat diharapkan menjadi pengusul kata baru bahasa Indonesia.
Bisakah siswa Indonesia menciptakan kata baru untuk menambah kosakata bahasa Indonesia? Bisakah anak-anak Indonesia meniru jejak Matteo, si bocah ajaib dari Italia yang berhasil menjadikan petaloso sebagai kata baru bahasa Italia?
Jawabannya, bisa! Asalkan, pendidikan kita memberikan pendampingan yang mendukung munculnya rasa cinta berbahasa Indonesia dalam hati anak-anak kita.
Pelajaran bahasa Indonesia hendaknya sungguh menyenangkan dan melibatkan anak didik. Para guru hendaknya meneladan Ibu Aurora, guru Matteo. Ketika anak didiknya membuat kesalahan, Bu Aurora tidak hanya mempersalahkan siswa. Ia memberi dorongan. Ia mengatakan,Â
"Itu salah, tetapi indah".
Kita perlu pendidikan yang membebaskan, bukan menekan kreativitas anak! Fokus edukasi kita seharusnya bukan soal nilai akhir, melainkan kecintaan terhadap pengetahuan. Hanya dalam iklim pendidikan yang mendukung anak berkreasilah, gagasan baru dapat muncul.Â
Menarik pula betapa besar peran lembaga studi bahasa, media massa, dan pejabat Italia dalam mendukung langkah anak-anak seperti Matteo untuk menjadi penganggit kata baru. Setelah kisah Matteo ini viral, koran Corriere mengadakan sayembara "cipta kata baru" untuk anak dan remaja.
Ah, seandainya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, para pemengaruh dan para pemangku kepentingan bahasa makin giat mendorong kecintaan berbahasa Indonesia, tentu akan muncul Matteo versi Indonesia.Â
Siaran televisi yang kurang bermutu bisa diganti kuis tebak kata atau lomba baca puisi. Bisa dibuat kanal YouTube dan akun Instagram, Twitter, dan Facebook serta TikTok kekinian untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia bagi anak dan remaja.Â
Alih-alih membayar pemengaruh persepsi politik, mengapa tak membayar pemengaruh bahasa Indonesia? Beberapa penulis di Kompasiana ini pun memiliki kemampuan dan potensi untuk jadi pemengaruh bahasa Indonesia!
Semoga artikel ini dibaca oleh Mas Menteri Nadiem Makarim dan jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Juga oleh semakin banyak orang tua dan pendidik anak bangsa.Â
Kepada anak, remaja, dan mahasiswa yang membaca tulisan ini, pesan saya: "Matteo si anak kelas tiga SD saja bisa usulkan kata baru, kalian bisa juga, kan?" Salam cerdas!
Pojok baca:Â 1, 2, 3, 4. Simak Keuntungan Menulis FIksi dan Pilih Vokasi. Sila bagikan artikel ini jika Anda pandang berfaedah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H