Adanya aplikasi perpesanan semacam WhatsApp, Telegram, dan "sahabat-sahabatnya" memang sangat memudahkan kita.Â
Sayangnya, menjamurnya aneka aplikasi canggih itu seringkali tak diimbangi dengan etika penggunaan yang disepakati dan dipahami pengguna.
Masalah utamanya, penggunaan gawai dan aplikasi memang menimbulkan gegar budaya. Kita sejatinya tidak pernah disiapkan secara formal untuk menjadi pengguna teknologi yang baik. Setakat ini, belum ada materi pelajaran bertajuk "Etika Digital" dalam kurikulum kita.
Tiadanya lembaga dan pendidikan formal yang menyusun "kurikulum etika digital" membuat kita hanya bisa mengimajinasikan adanya "kesepakatan etis" yang sewajarnya ditaati para pengguna gawai.Â
Etika mengajak orang gabung ke grup WhatsApp, misalnya, memang tidak ada secara formal. Akan tetapi, berdasarkan etika perilaku yang wajar, kita dapat merangkai semacam "kesepakatan etis" untuk kita taati bersama.
Hal-hal semacam ini tidak dapat kita temukan dalam jurnal ilmiah yang ada di mesin peramban semacam Google sekalipun.Â
Orang dewasa, pendidik, dan pemuka agama serta masyarakat wargalah yang sewajarnya menjadi subjek yang merancang "etika digital" ini dan mengajarkannya pada generasi muda dalam lingkup keluarga dan sekolah.
Jengkel Saat Dijadikan Anggota Grup secara Paksa
Saya sempat jengkel ketika dijadikan anggota grup sebuah aplikasi perpesanan tanpa persetujuan saya. Orang yang menambahkan saya tak pernah meminta izin atau setidaknya memberitahu saya.
Saya segera meninggalkan grup itu tanpa pamit. Suatu reaksi yang wajar. Setidaknya menurut saya sendiri. Saya dijadikan anggota secara paksa. Bukan kehendak saya masuk ke grup itu.Â
Bahagia Ketika Diundang Masuk Grup