Kita sebagai masyarakat warga harusnya secara kritis menolak politisasi agama ini. Pilih calon yang rekam jejaknya lebih baik, bukan berdasarkan tampilan luar keagamaannya. Dukung calon yang mampu memajukan daerah, bukan semata karena ia seagama dengan Anda.
3. Kita Perlu Waspadai Komersialisasi Agama
Agama dan simbol-simbol agama (termasuk tokoh agama) makin sering dikomersialisasi di Indonesia. Contohnya banyak sekali.
Tentu saja, baik bahwa masyarakat dan produsen di Indonesia semakin peduli soal produk yang sesuai ajaran agama. Akan tetapi, harus jujur kita akui bahwa ada juga "sisi gelap" komersialisasi  simbol-simbol agama.
Tengok saja iklan-iklan yang bertebaran di Indonesia, baik iklan media massa konvensional maupun media sosial. Produk-produk dan jasa dikemas dan diiklankan sebagai produk "bernapas keagamaan" meskipun sebenarnya tidak ada kaitannya dengan urusan keagamaan.
Pemuka-pemuka agama direkrut sebagai bintang iklan atau mengiklankan produk, yang -sayangnya- justru belakangan diketahui sebagai investasi bodong atau penipuan.Â
Perlu dicatat, gejala komersialisasi agama ini bukan hanya terjadi pada (pemeluk dan simbol-simbol) agama mayoritas saja. Tengok saja apa yang terjadi saat Natal. Pusat perbelanjaan semarak dengan Sinterklas, yang sejatinya bukan simbol Natal sejati.Â
Selengkapnya baca:Â Jangan Kaget, Sinterklas Bukan Simbol Natal Sejati
Karena itu, kita sebagai masyarakat warga hendaknya waspada. Jangan mudah terpesona oleh produk dan jasa yang dicitrakan sebagai produk keagamaan, padahal jauh dari nilai kebenaran.Â
Jangan mudah diperdaya pesona pemuka agama yang merangkap sebagai influencer produk dan jasa (abal-abal).
4. Kita Perlu Waspadai Pengkultusan (Pseudo-) Pemuka Agama