Sangat ganjil jika pribadi-pribadi seperti ini justru diagung-agungkan dan dijadikan rujukan. Apalagi jika justru sebagian besar isi kesaksian atau ceramahnya adalah menjelek-jelekkan agama sebelumnya.Â
3. Mantan pastor yang masih mengaku sebagai pastor.
Perlu diketahui, tidak ada pastor Katolik yang bisa "buka praktik mandiri", lepas dari keuskupan atau tarekat tertentu sebagai lembaga yang memayunginya.Â
Jika seseorang pastor telah resmi mengundurkan diri (atau diundurkan) dari keuskupan dan tarekat tertentu, ia kehilangan hak untuk menjalankan fungsinya sebagai pastor dan untuk menyatakan dirinya sebagai seorang pastor Katolik.Â
Kecuali dalam keadaan darurat di mana ada kepentingan rohani mendesak, misalnya bahaya maut, si "mantan" pastor itu, antara lain, boleh mendengarkan pengakuan dosa.
Jika mantan pastor ini mundur dengan niat baik untuk mencari keuskupan atau tarekat baru yang akan memayunginya, ia tentu menerima kenyataan bahwa ia bukan lagi pastor aktif.Â
Jika justru masih mengaku-aku sebagai pastor padahal ia belum diterima resmi oleh suatu keuskupan atau tarekat tertentu, kiranya ada udang di balik batu.
Lazimnya, pribadi-pribadi ini ingin mencari aneka keuntungan dengan "status palsu" sebagai pastor atau biarawan/biarawati aktif dan sungguhan.
Tak bisa dimungkiri, status sebagai pemuka agama menjanjikan pula penghormatan dan akses sosial yang luas bagi penyandangnya. Status sebagai pastor, biarawan, biarawati membuat seseorang mudah mendapat kepercayaan dari orang dan dari jemaat Katolik.
Akan tetapi, kita perlu mewaspadai oknum-oknum yang memanipulasi status ini. Entah untuk kepentingan siapa dan apa.
4. Bukan orang Katolik tetapi mengaku sebagai pastor atau biarawan/biarawati