Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senyum Bahagia di Rumah Baru yang Terbuat dari Cinta

29 Agustus 2020   09:10 Diperbarui: 29 Agustus 2020   09:07 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari terik dan jalan tak beraspal tak menyurutkan semangat Suster Sari PI dan rekan-rekan muda untuk menempuh perjalanan dengan motor ke sebuah kampung di pelosok Kalimantan Tengah. Kampung itu berjarak hampir 300 km atau enam jam perjalanan dari Palangkaraya.

Tujuan mereka adalah kembali mengunjungi Ibu Kiir. Usianya 58 tahun. Ia punya empat bersaudara. Ibu Kiir adalah anak pertama.

Ibu Kiir adalah penyandang disabilitas pada kedua kakinya. Menurut penuturan Ibu Kiir, waktu masih kelas dua sekolah dasar, ia mandi terlalu lama di sungai. Ia kedinginan, lalu kejang-kejang dan panas tinggi. Akibatnya, kakinya mengecil. 

Sejak kelas tiga sekolah dasar, ia tak bisa lagi berjalan. Ia tak bisa bekerja seperti orang-orang tanpa disabilitas. Hidup Ibu Kiir bergantung pada belas kasih kerabatnya dan juga banyak orang lain. Ia menerima bantuan dari pemerintah desa. Bila Natal dan Paskah, gereja Katolik setempat memberikan pula bantuan.

Sehari-hari, Ibu Kiir mencuci baju dan memasak sendiri. Jika memerlukan air untuk memasak dan mencuci, ia meminta bantuan para tetangganya. Syukurlah, para tetangganya dengan senang hati membantu mengambilkan air.

dokpri Sr Sari PI
dokpri Sr Sari PI
Ibu Kiir tinggal seorang diri di rumah yang sangat bersahaja. Rumah itu mungkin lebih tepat disebut pondok yang amat sederhana. Setelah 31 tahun didiami, pondok itu makin reot. 

Suatu hari, Suster Sari datang bersama Suster Yudit ke pondok Ibu Kiir. Saat memotret untuk mendokumentasikan kondisi pondok, Suster Yudit terperosok saat menginjak kayu yang telah lapuk.

Keadaan ini menggugah kepedulian Suster Sari, para tetangga Ibu Kiir, pemerintah desa setempat, dan para penderma. Para pemerhati ini bersatu hati untuk mencari solusi. Tujuan mereka adalah membuat rumah baru yang layak ditinggali Ibu Kiir.  

Kujungan para suster ke rumah lama - dokpri Sr Sari PI
Kujungan para suster ke rumah lama - dokpri Sr Sari PI
Dengan segala keterbatasan, akhirnya terkumpul sedikit dana. Tadinya, anggaran pembangunan rumah Ibu Kiir itu membengkak hingga delapan juta rupiah. 

Untuk mengatasi hal ini, tim sepakat untuk memangkas pengeluaran. Alih-alih membeli papan kayu dari dari toko bangunan, tim memanfaatkan pohon kayu yang dimiliki oleh keluarga Ibu Kiir.

Kebetulan, adik Ibu Kiir memiliki keterampilan dalam pertukangan. Tim renovasi membelikan bahan bakar untuk mesin pemotong kayu yang digunakan oleh adik Ibu Kiir. Dengan demikian, kayu hasil tebangan sendiri menjadi bahan untuk membangun rumah.

Semangat Gotong-Royong

Salah satu keutamaan bangsa Indonesia  adalah praktik gotong-royong. Semangat gotong-royong ini memiliki aneka nama sesuai bahasa daerah di Nusantara. 

Masyarakat Minahasa menyebutnya dengan istilah mapalus. Menurut Meldy Elshaday Lumantow, dkk budaya mapalus adalah sistem kerja sama     yang  didasarkan pada falsafah hidup  orang Minahasa. Menurut Dr. Sam Ratulangi, falsafah itu adalah “si tou  timou tumou  tou " atau "manusia hidup  untuk menghidupkan manusia  lain”. 

Warga Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur mengenal istilah gugur gunung dan sambatan. Menurut rekan Kompasianer Bambang Setyawan, para warga Jawa yang merantau ke seantero Nusantara membawa semangat gugur gunung ini ke mana pun mereka berada.

Warga Bali menyebut gotong-royong dengan istilah ngayah. Orang Batak Toba mengadakan siadapari. Warga Padang Pariaman menyelenggarakan hoyak tabuik

Masyarakat Dayak yang terdiri dari aneka suku dan sub-suku juga mengenal aneka istilah gotong-royong. Misalnya, Suku Dayak Lundayeh yang tinggal di kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara menyebut gotong-royong dalam bertani dengan istilah paleo.

Demikian pula warga di kampung Ibu Kiir memiliki semangat gotong-royong yang kuat. Mereka bahu-membahu melibatkan diri dalam renovasi pondok Ibu Kiir.

Suster Sari, biarawati anggota kongregasi para suster Penyelenggaraan Ilahi, menjelaskan bagaimana indahnya gotong-royong yang terjalin di antara warga yang beraneka agama. Pengerjaan renovasi rumah ini dipenggawai oleh adik Ibu Kiir. 

dokpri Suster Sari PI
dokpri Suster Sari PI
Para pria bekerja menyusun papan-papan kayu hingga rumah baru terwujud. Para ibu menyediakan penganan dan makanan. Warga terlibat dengan menyumbang bahan makanan demi mendukung pembangunan rumah baru bagi Ibu Kiir.

Berkat gotong-royong banyak pihak, Ibu Kiir kini tinggal di rumah barunya yang terbuat dari cinta. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya dan dari para malaikat kasat mata pembawa cinta tulus pada sesama manusia.

Kiprah Pemerhati Kaum Sederhana

Dalam kiprahnya bagi kaum sederhana di Tamiang Layang, Suster Sari dan para suster Penyelenggaraan Ilahi (PI) bekerja sama dengan banyak pemerhati kaum sederhana. 

Selain keterlibatan gereja Katolik yang berada di bawah penggembalaan para pastor kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF), kepedulian bagi kaum sederhana ini terwujud berkat kerja sama dengan pemerintah dan banyak orang budiman dari aneka latar belakang. 

Empat hari jadi - dokpri Sr Sari PI
Empat hari jadi - dokpri Sr Sari PI
"Ada donatur yang tidak ingin namanya diungkap," tutur Suster Sari yang telah dua kali bertugas di Tamiang Layang. Sejak Juli 2018, Suster Sari diberi tugas pelayanan pastoral setelah sebelumnya selama dua tahun menjadi kepala sekolah sebuah taman kanak-kanak.

Suster Sari yang berasal dari Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah tertarik menjadi biarawati pemerhati kaum sederhana karena terinspirasi oleh sosok ayahnya. 

Semasa berdinas, sang ayah adalah pembina bimas Katolik TNI AU. Setelah pensiun, sang ayah aktif terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dan gerejani di Subang, Jawa Barat. 

"Saat saya masih kelas satu SMA, saya sering diajak Bapak berkeliling ke desa-desa sebagai katekis (pembina iman awam). Saya diserahi tugas mendampingi anak-anak, sementara Bapak mendampingi para orang tua," kenang Suster Sari.

Suster Sari (kiri) bersama kaum muda - dokpri Suster Sari PI
Suster Sari (kiri) bersama kaum muda - dokpri Suster Sari PI
Dalam pelayanannya di Kalteng, Suster Sari mengajak kaum muda untuk ikut mengunjungi kaum kecil, lemah, miskin, dan difabel. Sewaktu menjadi kepsek di sebuah TK, Suster Sari juga mengajak anak-anak untuk mengumpulkan uang sesuai kemampuan mereka untuk membantu sesama.

Ia berharap, kepedulian pada sesama manusia tumbuh dalam diri generasi penerus bangsa. Cinta tulus pada mereka yang paling memerlukan bantuan semoga makin mekar dalam hati tiap insan. Semoga!

Kanal atau channel YouTube Suster Penyelenggaraan Ilahi dapat dikunjungi di utas ini.

---

NB: Ada seorang duda yang buta dan juga memerlukan "bedah rumah". Ia tinggal di pondok sederhana. Ia harus mengambil air ke sungai. WC di pondoknya tidak ada penampungan airnya. Jika pembaca terketuk memberikan bantuan, sila hubungi tim pemerhati via penulis melalui surel atau fitur percakapan Kompasiana. Salam peduli sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun