Aku tersipu malu. "Ah, dokter Santi bisa aja. Cuma doa biasa seorang istri."
Dokter Santi memeriksa sejenak kondisi si pria gagah yang kini terkulai lemah. Tidak ada sepatah kata pun dikatakannya soal keadaan pasiennya.
Aku sadar, apa arti diamnya sang dokter beberapa hari terakhir saat memeriksa suamiku. Tidak ada perkembangan positif yang bisa dikatakan dokter yang lebih muda sekitar dua puluh tahun dariku itu.
"Bu Eliza, boleh saya cerita soal suami saya," tanya dokter Santi setelah usai membubuhkan catatan singkat di mapnya.
"Tentu boleh, Dok. Saya dengan senang hati mendengarkan," jawabku.
"Begini, Bu Eliza. Suami saya kok sebulan ini aneh. Ketika makan malam bersama saya dan anak, sepertinya tidak nyaman. Setelah makan, langsung sibuk di kamar kerjanya.
Padahal, setahu saya, gegara corona ini, banyak klien batalkan order rancangan bangunan. Saya curiga, dia sebenarnya sedang asyik chat dengan wanita lain. Karena itu, akhir-akhir ini saya diamkan suami saya," tutur dokter Santi.
Aku terdiam sejenak. Aku tak menyangka, dokter Santi yang selalu ceria itu rupanya menyimpan beban di hati.
"Ya, namanya hidup berumah tangga ada gelombang-gelombangnya, Dok. Coba ajak suami bicara baik-baik. Jangan malah diem-dieman begitu.
Tanya pada suami, sedang ada masalah apa. Belum tentu suami tergoda wanita lain. Apa ada sikap dan tindakan Dokter yang membuat suami sakit hati? Juga sebaliknya. Mungkin dalam bahtera rumah tangga, kita sering tidak sadar telah melukai hati pasangan hidup," nasihatku.
"Benar juga, ya Bu. Mungkin saya yang terlalu curiga. Saya akan coba lakukan nasihat Ibu. O ya, Bu Eliza punya putra-putri?"