Dilansir situs Qantara.de, hampir 50.000 warga Palestina secara resmi bekerja di Israel, sementara sekitar 30.000 warga Palestina melintasi perbatasan secara ilegal setiap hari dari Tepi Barat untuk bekerja.Â
Tak dapat dimungkiri, konflik politik dan fisik memang terjadi antara Israel dan Palestina. Akan tetapi, di akar rumput, tak selalu relasi warga kedua bangsa ditandai dengan kebencian.Â
Tentu tindakan ini bisa dilihat semata dari sisi ekonomi, tetapi juga bisa dilihat dari sisi kemanusiaan. Tentu warga Israel juga ingin agar warga Palestina mendapat penghasilan untuk keluarga mereka.Â
Pada hemat saya, konflik Israel-Palestina adalah konflik elitis-ideologis yang sejatinya tidak sangat menjalar hingga ke akar rumput.Â
Fatima, wanita Palestina yang saya jumpai di Yerusalem adalah contoh nyata warga Palestina yang bisa bekerja secara kurang lebih leluasa di "wilayah" Israel.Â
Sebagai pekerja lintas batas wilayah, Fatima bisa berbahasa Ibrani dan tentu saja Arab. Kedua bahasa ini masih serumpun sehingga mudah saja saling memahami antara warga Israel dan Palestina.
Entah apa yang kini terjadi kala pandemi Covid-19 merebak di Tanah Suci. Apakah Fatima dan ribuan warga Palestina masih diizinkan bekerja di Israel? Mungkin saja iya karena Israel cukup berhasil menangani Covid-19. Bahkan-suka tak suka-salah satu kandidat vaksin sedang dikerjakan sebuah perusahaan farmasi Israel.
Konflik Israel-Palestina sejatinya melibatkan dua kubu politik internasional. Tak usah saya jelaskan lagi, mana saja negara besar yang berada di balik krisis kemanusiaan ini.
Jujur, seandainya banyak warga Indonesia membaca tulisan ini, mungkin pandangan mengenai konflik Israel-Palestina akan sedikit berubah. Seperti kebanyakan perselisihan politik global, tema utamanya bukan agama.Â
Tanah. Kuasa. Sumber daya. Itulah yang diperebutkan.