Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tagar "Terserah Indonesia" dan 3 Cara Mengikis Kebodohan Covidiot

19 Mei 2020   05:55 Diperbarui: 21 Mei 2020   00:16 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tagar "Terserah Indonesia" ramai di medsos Twitter. Warganet memajang foto-foto kerumunan orang di pasar, mal, bandara, dan aneka tempat lainnya. 

Seakan tak peduli bahaya corona.

Kaum yang tak peduli dengan bahaya Covid-19 ini kini kerap disebut sebagai para covidiot. Ini gabungan dari kata covid dan idiot.

Warganet lantas mengunggah foto para tenaga medis yang memegang tulisan bertema "Indonesia terserah" atau "Suka-suka kalian saja". Ini protes keras bagi para covidiot yang tak peduli pada pengorbanan tenaga medis. 

Pertanyaannya, bagaimana mengikis kebodohan para covidiot ini agar tak makin parah? Kiranya ada 3 cara mencegahnya.

1. Kehadiran aparat negara dan instrumen hukum yang jelas

Dikutip dari kompas.com, sepekan menjelang Lebaran di tengah PSBB, warga Jakarta justru giat berbelanja baju baru di Pasar Tanah Abang. Para pedagang tetap buka seperti biasa, seolah corona tidak ada. Warga bahkan membawa serta anak-anak. Rombongan lebih dari lima orang sudah biasa terlihat. 

Pedagang baru tertib menutup lapak dan menerapkan jarak antarpribadi ketika aparat bertindak. Ketika aparat pergi, aktivitas kembali seperti semula. 

Ini realita di lapangan. Meski presiden dan kepala daerah teriak-teriak pun, warga tetap bandel. Maka cara terbaik adalah ketegasan menindak orang yang membandel ini. 

Sayangnya, hingga kini belum ada instrumen hukum yang jelas untuk menghukum para warga yang membandel ini. Bentuk sanksi yang dikenakan tidak seragam. Ada petugas yang menyuruh pelanggar untuk push-up. Kadang aparat hanya bisa membentak atau menyuruh pelanggar membersihkan sampah.

Di negara-negara Eropa, pemerintah tegas membuat hukum berisi denda terukur bagi pelanggar aturan penanggulangan corona. Di Italia, misalnya, denda mencapai jutaan rupiah untuk tiap pelanggaran lockdown. Sanksi serupa diterapkan di Singapura dan Vietnam. 

Mungkin di Indonesia, jenis sanksi perlu diadaptasi dengan situasi ekonomi dan budaya setempat. Misalnya, pedagang yang membandel ya disita saja dagangannya dan disegel tokonya. 

Warga yang membandel bisa diancam dengan pencabutan hak menerima bansos (PKH dst), tidak diberikan SKCK, penyitaan SIM, denda uang, atau bentuk hukuman lain yang bisa bikin jera.

Kehadiran aparat perlu ditingkatkan. Tambah jumlah dan frekuensi aparat untuk menertibkan warga. Ini perlu sebagai detterent effect. Jika tak seorang pun petugas berpatroli, peluang pelanggaran akan meningkat. Suka tak suka, warga kita memang masih perlu "ditakuti" oleh aparat dan sanksi tegas. 

2. Sosialisasi yang lebih membumi

Kenyataan membuktikan, sebagian warga (terutama kaum sederhana) tampaknya kurang mendapatkan wawasan yang utuh mengenai bahaya corona. 

"Asal berdoa, aman" atau "Cuma belanja sebentar saja, gak apa-apa" adalah contoh-contoh salah kaprah yang diyakini warga. Padahal, mudahnya penularan corona sangat nyata mengancam jiwa. 

Gagal paham ini (atau istilah yang lebih tepat adalah "kebodohan" ini) hanya bisa perlahan dikikis dengan sosialisasi yang lebih membumi. Ada beberapa hal yang bisa dibuat:

- Penggunaan bahasa daerah dan jargon-jargon sederhana dalam kampanye cegah corona

Jargon "Gak usah mudik, yang penting uangnya mudik" yang dipopulerkan Youtuber bisa jadi contoh. Saya mengusulkan: "Di rumah saja daripada berakhir di rumah sakit dan rumah duka" dan "Kalau sungguh sayang corona jangan kau bawa pulang." serta "Kamu cantik kalau pakai masker dengan baik". Ada yang punya ide jargon lain?

- Edukasi langsung di lapangan (pasar, pusat keramaian, dst) dengan materi kampanye cegah corona yang menyasar hati, bukan cuma otak

Contohnya, "pesan dari dokter dan perawat", "pesan dari istri yang kehilangan suaminya akibat corona", "surat dari mantan pasien korona", dan sebagainya. Bisa dibuat dalam bentuk video, jinggle, lagu, puisi, surat, spanduk, flyer, dan sebagainya. 

Selama ini, kampanye menyentuh ini justru sudah marak dipopulerkan warganet di medsos. Apakah pemerintah tidak tertarik melakukan pendekatan yang lebih humanis dan membumi ini alih-alih kampanye berupa larangan resmi yang terkesan mengedepankan kuasa? 

3. Libatkan satuan masyarakat terkecil, tokoh agama serta tokoh publik

Jawa Tengah di bawah komando Gubernur Ganjar Pranowo menjadi salah satu pelopor daerah yang menerapkan "Jogo Tonggo". Artinya, menjaga tetangga. 

Gerakan ini meliputi 1) jaring pengaman sosial dan keamanan berupa sosialisasi, pendataan, dan pemantauan warga dan 2) jaring pengaman ekonomi: 

Pertama, memastikan tidak ada satupun warga yang kelaparan gegara pandemi. Kedua, mengusahakan kegiatan ekonomi warga berjalan dengan baik pasca wabah. Tiap Satgas Jogo Tonggo dipimpin ketua RW, yang dibantu para ketua RT.

Pula di sejumlah daerah, pemda dan pemkot giat melibatkan satuan masyarakat terkecil, misalnya tingkat kampung dan perumahan. Ini selaras dengan masukan sejumlah pakar yang mengatakan bahwa kunci pencegahan corona adalah upaya satuan masyarakat terkecil dalam memerangi corona dan dampaknya.

Selain itu, kita perlu melibatkan tokoh agama dan tokoh publik secara lebih maksimal. Masyarakat Indonesia sering lebih mau mendengarkan tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat ketimbang penguasa pusat dan daerah.

Dari Kementerian Agama, sepertinya belum pernah terdengar ada upaya, misalnya, mobilisasi dan edukasi tokoh-tokoh pemuka agama dan kepercayaan secara nasional untuk edukasi pencegahan corona dalam perspektif agama dan kepercayaan. 

Yang ada hanya lah pelarangan menggunakan tempat ibadah, yang sayangnya ketika disampaikan secara kurang bijak, sering disalah artikan sebagai "negara menindas kebebasan beragama" atau "beribadah bersama dilarang tapi jualan di pasar dibiarkan".

Tak heran, gejala mabuk agama pun tampak ketika orang tetap nekat melaksanakan ibadat massal meski sudah ada larangan. Seandainya tiap pejabat nasional dan lokal tekun merangkul tokoh-tokoh agama, gejala mabuk agama ini bisa ditanggulangi. 

Pula belum terdengar upaya Kominfo untuk merangkul YouTuber, selebgram, artis, dan selebritas lainnya dalam gerakan nasional edukasi lawan corona. 

Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, juga bisa digalang edukasi dan penggalangan dana amal lawan corona dengan melibatkan pegiat seni dan media lokal. 

Kita yakin, sebagian besar masyarakat kita sejatinya masih sangat waras dan cukup terdidik. Kita punya banyak potensi nasional dan lokal untuk memenangkan pertarungan melawan corona. Tinggal bagaimana menyatukan potensi-potensi itu. Bukan malah menjadikan corona sebagai panggung politik, cari sensasi, dan kesempatan untuk korupsi.

Kita memerlukan kepemimpinan nasional dan lokal yang kuat dan solid. Satukan visi dan kebijakan melawan virus yang sepertinya kuat tetapi lemah ini. 

Ingat, corona tidak bisa "jalan sendiri" untuk menularkan dirinya. Ketika inang-inang (baca: penderita/pembawa corona) ini dirawat, diisolasi, dan dikarantina dengan baik, corona akan bisa kita taklukkan. 

Sederhana saja dalam teori, namun mengapa kita masih payah menerapkannya sebagai bangsa? Jangan salahkan presiden atau gubernur. Coba kita sebagai warga bercermin dulu. 

Sebab, saat ini yang kita hadapi ada dua: corona dan kebodohan kita sendiri. 

Mari menulis untuk mendidik diri, keluarga, dan bangsa agar berperilaku cerdas di tengah pandemi. Bagikan coretan ini jika Anda pandang berguna. 

 Pojok inspirasi: 1, 2

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun