Mungkin di Indonesia, jenis sanksi perlu diadaptasi dengan situasi ekonomi dan budaya setempat. Misalnya, pedagang yang membandel ya disita saja dagangannya dan disegel tokonya.Â
Warga yang membandel bisa diancam dengan pencabutan hak menerima bansos (PKH dst), tidak diberikan SKCK, penyitaan SIM, denda uang, atau bentuk hukuman lain yang bisa bikin jera.
Kehadiran aparat perlu ditingkatkan. Tambah jumlah dan frekuensi aparat untuk menertibkan warga. Ini perlu sebagai detterent effect. Jika tak seorang pun petugas berpatroli, peluang pelanggaran akan meningkat. Suka tak suka, warga kita memang masih perlu "ditakuti" oleh aparat dan sanksi tegas.Â
2. Sosialisasi yang lebih membumi
Kenyataan membuktikan, sebagian warga (terutama kaum sederhana) tampaknya kurang mendapatkan wawasan yang utuh mengenai bahaya corona.Â
"Asal berdoa, aman" atau "Cuma belanja sebentar saja, gak apa-apa" adalah contoh-contoh salah kaprah yang diyakini warga. Padahal, mudahnya penularan corona sangat nyata mengancam jiwa.Â
Gagal paham ini (atau istilah yang lebih tepat adalah "kebodohan" ini) hanya bisa perlahan dikikis dengan sosialisasi yang lebih membumi. Ada beberapa hal yang bisa dibuat:
-Â Penggunaan bahasa daerah dan jargon-jargon sederhana dalam kampanye cegah corona
Jargon "Gak usah mudik, yang penting uangnya mudik" yang dipopulerkan Youtuber bisa jadi contoh. Saya mengusulkan: "Di rumah saja daripada berakhir di rumah sakit dan rumah duka" dan "Kalau sungguh sayang corona jangan kau bawa pulang." serta "Kamu cantik kalau pakai masker dengan baik". Ada yang punya ide jargon lain?
- Edukasi langsung di lapangan (pasar, pusat keramaian, dst) dengan materi kampanye cegah corona yang menyasar hati, bukan cuma otak
Contohnya, "pesan dari dokter dan perawat", "pesan dari istri yang kehilangan suaminya akibat corona", "surat dari mantan pasien korona", dan sebagainya. Bisa dibuat dalam bentuk video, jinggle, lagu, puisi, surat, spanduk, flyer, dan sebagainya.Â