Mbah Minto sedang jadi buah bibir. Nenek asal Klaten, Jawa Tengah ini jadi viral setelah video bertema anjuran tidak mudik mengundang perhatian warganet. Ungkapannya, "Tidak usah pulang kampung, Nak...yang penting duitnya pulang!" pun efektif mengedukasi warga.
Mbah Minto adalah bagian dari fenomena Youtuber tak pamer kemewahan yang jadi antitesis Youtuber pengobral konten serba wah. Selain Mbah Minto, ada pula sejumlah nama lain, misalnya Jidate Achmad dan Trio Bocah Ngapak.
Rupanya, kehadiran Mbah Minto mampu merebut perhatian warganet yang mungkin sudah jengah melihat konten kaum hartawan.Â
Sejatinya, ada 3 alasan untuk nonton Youtuber yang sederhana seperti Mbah Minto alih-alih Youtuber yang dari sononya sudah tajir melintir. Ini dia 3 alasannya:
Pertama, konten lebih natural
Mbah Minto memerankan dirinya sendiri sebagai nenek yang hidup di desa. Memasak dengan kayu bakar. Tinggal di rumah berdinding bambu anyam (gedhek dalam bahasa Jawa).
Mungkin yang tidak natural hanyalah bahwa Mbah Minto rajin membawa ponsel sembari berkegiatan. Maklum, inti videonya memang dialog lucu antara dia dan 'sang cucu' yang kebelet mudik.Â
Sama halnya dengan konten Jidate Achmad, anak bersahaja dari Lumajang yang rajin membuat review (ulasan) pomade. Video yang ia buat berlatar belakang rumah sederhana. Tak ada rekayasa.Â
Konten Mbah Minto dan cucunya bertutur tentang suka-duka perantau yang rindu mudik Lebaran. Juga tentang keseharian rumah tangga perdesaan yang menggantungkan kiriman uang para perantau untuk menyambung hidup.
Sebagian besar penonton pasti merasa keseharian hidupnya terwakili dalam tokoh, masalah, dan latar-belakang sosial budaya yang ditampilkan dalam video di kanal Ucup Klaten ini.
Penonton juga terhibur oleh celoteh spontan dengan bahasa daerah atau bahasa orang sederhana yang tak mengada-ada.Â
Hal ini tidak kita dapatkan saat menonton konten Youtuber yang pamer koleksi mobil mewah, liburan berminggu-minggu ke luar negeri, atau pamer jumlah rekening bank.
Dalam teori media, konten Youtuber sederhana lebih punya kedekatan atau proximity dengan pemirsa yang mayoritas adalah kalangan menengah ke bawah. Karena itu, penonton merasa diri dekat dengan para Youtuber yang juga sama-sama senasib dalam suka-duka sebagai orang biasa.Â
Ketiga, menjadi inspirasi untuk bangga dengan jati diri
Konten Bocah Ngapak, misalnya, dibawakan dengan logat Jawa Banyumasan yang khas. Trio bocah ngapak terdiri dari Azkal, Fadly, dan Ilham. Mereka adalah anak-anak dari Sadang, Kebumen, Jawa Tengah.Â
Warganet memuji konten yang mengangkat jati diri sebagai warga daerah tertentu dengan budaya yang khas ke tataran pemirsa nasional. Meski ketika diterjemahkan ke bahasa Indonesia terasa ada nuansa bahasa yang berbeda, toh tak mengurangi minat masyarakat pada konten lokal semacam ini.
Masyarakat lain suku pun memuji kreator konten yang dengan penuh rasa bangga menyajikan konten-konten lokal. Inilah keanekaragaman budaya yang semestinya lebih banyak disorot para kreator konten dan penonton YouTube.
Wasana Kata
Tentu saja, ulasan ini tidak bermaksud mengerdilkan kreator konten bertopik kemewahan. Tiap ceruk ada konsumennya sendiri. Juga, sangat mungkin orang terinspirasi untuk bekerja keras meraih sukses setelah menonton konten serba wah tersebut. Pasti ada alasan tersendiri untuk menikmati konten Youtuber super kaya.Â
Apa pun konten yang disajikan, mari kita petik hikmahnya bagi perkembangan diri dan bangsa kita.
Salam cerdas bermedia. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H