Siapa tak pernah mendengar nama Yesus? Yesus atau Isa al-Masih adalah tokoh penting dalam agama-agama langit (samawi) atau abrahamik, antara lain Katolik, Kristen, dan Islam. Kisah tentang Yesus atau Isa tersua dalam aneka kitab suci agama-agama.
Ganjilnya, sampai sekarang masih saja ada orang yang menganggap Yesus atau Isa itu hanya tokoh legenda. Benarkah Yesus atau Isa hanya tokoh fiktif?Â
Sejatinya, tidak terlalu rumit menjawab keraguan kalangan yang masih berpikiran demikian tertutup.Â
Ada dua jalan untuk membuktikan bahwa Yesus atau Isa itu tokoh historis. Pertama, keberadaan teks-teks (suci) dan tradisi lisan dan kelompok yang konsisten meneruskannya. Kedua, bukti arkeologis dan sejarah.
Jalan pertama, yaitu keberadaan teks-teks dan tradisi lisan serta kelompok yang meneruskannya sudah jelas terpenuhi. Berlimpah teks-teks (suci) yang memuat kisah Yesus atau Isa. Jumlah kelompok (keagamaan) yang terus meneruskan tradisi lisan dan tulisan tentang Yesus atau Isa sangat besar. Hitung saja jumlah pemeluk agama Katolik, Kristen, dan Islam sedunia.Â
Jalan kedua, yaitu penelitian arkeologis dan sejarah semakin mendukung keyakinan bahwa Yesus atau Isa al-Masih sungguh tokoh sejarah.Â
Museum di Yerusalem
Setakat ini, memang belum ditemukan bukti arkeologis yang langsung terkait dengan diri Yesus. Akan tetapi, sebagian besar ahli sepakat bahwa Yesus memang ada dan bahwa Yesus disalibkan antara 26-36 M. Tahun-tahun itu adalah masa pemerintahan gubernur Romawi, Pontius Pilatus, di Yudea.
Beberapa bukti arkeologis tentang zaman Yesus dapat kita lihat di sejumlah lokasi di Tanah Suci, termasuk Museum Israel di Yerusalem.
Penulis beberapa waktu lalu berkesempatan mengunjungi museum ini untuk mempelajari arkeologi alkitabiah. Di antara sekian banyak objek yang dipamerkan, ada dua objek menarik yang patut disajikan dalam artikel terkait penyaliban pada zaman Yesus ini.
Pertama, Prasasti Pilatus
Dalam Alkitab, Pilatus tercatat sebagai gubernur Romawi atas Yudea (wilayah yang dulu mencakup Israel dan Palestina masa kini) dari tahun 26-36 M. Pontius Pilatus berperan penting dalam proses pengadilan Yesus yang akhirnya berakhir dengan penyaliban (lihat Injil Matius 27).
Selain tercatat dalam Injil, nama Pilatus juga tersua dalam catatan sejumlah sejarawan Romawi seperti Flavius Yosephus, Philo, dan Tacitus.Â
Nah, bukti arkeologis yang membuktikan keberadaan Pilatus di Yudea adalah prasasti Pilatus (Pilate stone). Prasasti ini adalah blok batu kapur berukuran 82 cm x 65 cm.
Prasasti ini ditemukan di situs arkeologi Kaisarea Maritima pada tahun 1961. Tertulis sebagian nama Pilatus dalam prasasti Romawi abad ke-1 ini: "[Pont] ius Pilatus".
[DIS AUGUSTI]S TIBERIÉUM [...PONTI]US PILATUS [...PRAEF]ECTUS IUDA[EA]E [...FECIT D]E[DICAVIT]
Artinya: [Kepada Augusti]s Tiberieum ... [Ponti]us Pilatus...[pref]ek Yudea..telah ditujukan.
Kedua, paku salib zaman YesusÂ
(Peringatan: naskah dan foto memuat kekerasan grafis bagi sebagian orang. Jangan terus membaca jika tak kuat)
Hukuman penyaliban sudah dipraktikkan di Persia antara 300-400 SM. Penyaliban mungkin adalah hukuman paling menyiksa yang pernah dipraktikkan dalam waktu lama dalam sejarah manusia.
Penyaliban lazimnya dijatuhkan pada budak, orang asing, pemberontak, dan penjahat paling kejam.
Menariknya, satu-satunya bukti arkeolgis penyaliban pada abad-abad pertama Masehi yang sudah ditemukan hanyalah ini:
Penyelidikan ilmiah membuktikan bahwa tulang tumit kanan yang tertembus paku ini berasal dari abad pertama Masehi atau pada zaman Yesus hidup dan berkarya.
Posisi asli tulang ini dapat kita lihat dalam gambar berikut:
Tak Seseram Film Mel Gibson
Apakah penyaliban pada zaman Yesus "berdarah-darah" seperti dilukiskan film arahan Mel Gibson, the Passion of the Christ?
Yang sudah para ahli beberkan, antara lain, bahwa orang yang dihukum salib meninggal karena aneka faktor: perlahan kekurangan darah, sesak nafas karena menyangga beban tubuh, dan kehilangan tenaga karena siksaan bertahap.
Sementara itu, adegan penyaliban yang kita lihat di film-film seperti the Passion of the Christ (2004) terlalu "berdarah-darah" sehingga secara logika seharusnya yang dihukum lekas meninggal.
Padahal, hukuman penyaliban pada masa penjajahan Romawi justru untuk menyiksa perlahan-lahan si terhukum dan untuk membuat orang-orang yang melihat siksaan itu takut (detterent effect).Â
Yesus dijatuhi hukuman salib karena dianggap pemberontak. Yesus disalibkan (baca: dihukum agar perlahan-lahan meninggal) dalam rangka menjadikan para pengikut beliau dan orang-orang Yudea lainnya takut memberontak.
Karena itu, gambaran siksaan berdarah-darah seperti pada film The Passion of Christ justru kurang tepat. Maklum, film ini lebih menonjolkan siksaan fisik ketimbang aspek lain, misalnya penjiwaan tokoh-tokoh.Â
Wasana Kata
Masih banyak sisi lain arkeologi Tanah Suci yang belum sempat kita ulik. Adakah pembaca yang juga pernah berkunjung ke Museum di Yerusalem atau ke lokasi menarik lain di Tanah Suci dan ingin membagikan kisahnya? Semoga di lain kesempatan, kita dapat saling berbagi kisah di Kompasiana ini.
Salam hangat untuk pembaca dan rekan Kompasianer sekalian. Teruntuk saudara-saudari kristiani, selamat merenungkan sengsara Yesus di hari Jumat Agung ini. Kesan dan pertanyaan, sila tulis di kolom komentar. Sila bagikan tulisan ini bila dipandang bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H