Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Sopir Budiman dan Inspirasi Pemimpin yang Melayani

9 April 2020   08:24 Diperbarui: 9 April 2020   08:36 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi foto: everythingisjake.com

Alkisah, waktu itu era awal masa kemerdekaan. Kendaraan umum di perdesaan sangat jarang, atau bahkan tidak ada. Kadang-kadang saja ada mobil lewat dan warga melambaikan tangan untuk minta tumpangan. 

Suatu subuh di pinggiran Yogyakarta, seorang simbok bakul (ibu pedagang) pagi-pagi telah memikul kelapa dan sayuran hasil kebun. Karena sudah berusia lanjut, sang mbok bakul berjalan pelan menyusuri jalan dari desanya ke pasar dekat Tugu Jogja.

Saat itu, dari arah belakang punggung terdengar suara mobil. Tanpa diminta, mobil itu berhenti dekat si mbok bakul. Karena hari masih gelap dan tiada lampu penerangan, sang mbok bakul tidak bisa melihat wajah sang sopir. 

"Mbok, badhe tindak ten peken, nggih?" tanya sang sopir ramah. Artinya, "Mbok, mau pergi ke pasar, ya?"

Sang mbok mengangguk. Si sopir segera mempersilakan si mbok untuk naik mobilnya. 

Sepanjang perjalanan, sejauh masih muat, mobil itu berhenti untuk menawarkan tumpangan pada warga yang ingin ke kota.

Tentu saja para wong cilik yang mendapat tumpangan merasa sangat gembira. 

Selama perjalanan, sang sopir dengan ramah mengajak para penumpang ngobrol soal barang dagangan dan harga di pasar. 

Singkatnya, soal kehidupan sehari-hari warga desa yang mengais rejeki di pusat kota Yogya.

Saat tiba di pasar, mentari telah terbit. Si mbok bakul merogoh kantongnya, bermaksud memberikan uang untuk sekadar berterima kasih pada sang sopir budiman.

"Niki, Pak, sakdrema atur panuwun kula," kata Mbok bakul. Artinya, "Ini, Pak, sekadar terima kasih dari saya."

"Kula iklas, Mbok. Boten sah dibayar (Saya ikhlas, Mbok. Tidak perlu dibayar)," jawab sang sopir.

Mbok bakul merasa tak enak hati. Ia kembali mendesak, tapi sang sopir tetap menolak.

Karena jengkel, mbok bakul menggerutu dengan nada marah. Akan tetapi, sang sopir tetap sabar, tak terpancing amarah.

Akhirnya sang sopir hanya tersenyum sambil menoleh ke belakang.

Mbok bakul dan para penumpang lain terkejut melihat wajah sang sopir budiman. Ternyata sang Sultan. Mbok bakul pun pingsan!

*

Kisah ini saya dengar dari seseorang. Kisah nyata atau bukan, saya tak bisa memastikan. Apakah sosok sopir budiman yang dikisahkan merujuk pada Sultan Hamengkubuwono IX? Adakah pembaca Kompasiana yang bisa melacak kebenaran historis kisah ini?

Sebenarnya sangat masuk akal bahwa sang sopir budiman merujuk pada Sultan HB IX, yang tersohor dengan semboyan "Tahta untuk rakyat". 

Foto ini menunjukkan Sultan HB IX sedang blusukan di Pasar Beringharjo pada tahun 1952.

Sultan HB IX - dpad.jogjaprov.go.id
Sultan HB IX - dpad.jogjaprov.go.id
Sultan HB IX memang dikenal sebagai raja yang cinta rakyat. Sebagian besar tanah di DIY dulunya (dan masih hingga sekarang) adalah Sultan Ground atau tanah Sultan yang boleh dimanfaatkan rakyat kecil. 

Entah siapa sesungguhnya sosok sang sopir budiman, kisah ini menjadi contoh bagaimana seharusnya seorang raja atau pemimpin menjalankan perannya. 

Seorang pemimpin harus melayani rakyatnya, bukan minta dilayani. Sang sultan dalam kisah tadi justru aktif menawarkan tumpangan tanpa harus diminta oleh rakyatnya.

Seorang pemimpin sejati tak mengorbankan rakyat demi kepentingan pribadi, tapi justru rela berkorban demi rakyatnya.

Keutamaan pemimpin ini rasa-rasanya masih perlu kita jadikan inspirasi untuk diri sendiri maupun untuk kehidupan berbangsa kita.

Dalam kadar dan lingkup tertentu, kita adalah pemimpin. Seorang ayah dan ibu menjadi pemimpin bagi anak-anak. Seorang kakak adalah pemimpin bagi adik-adiknya. Seorang pegawai senior adalah pemimpin bagi adik-adik karyawan baru, dan sebagainya.

Belum lagi kalau memang jadi pejabat negara, baik pusat maupun daerah. 

Apa pun peran yang kita jalankan, kita diharapkan menjadi pemimpin yang melayani, bukan mendominasi. Betapa indahnya jika bangsa ini memiliki pemimpin-pemimpin berjiwa merakyat dan rendah hati. Tiada jarak bumi-langit antara penguasa dan rakyat jelata. 

Kita rindu pemimpin-pemimpin yang mampu merasakan suka-duka wong cilik. Tak hanya itu, kita rindu kehadiran para pemimpin yang bertindak nyata menolong rakyat sederhana.

Tak usah menuntut pemimpin-pemimpin negara, mari mulai dari diri kita sendiri. Mari menjadi pribadi yang tak mendominasi, tapi melayani.

Kisah sang sopir budiman bisa jadi kenyataan dalam hidup kita sehari-hari jika kita mau mewujudkannya.

Salam berbagi! R.B.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun