Meraih gelar doktor sungguh tak mudah. Apalagi jika sang mahasiswa atau mahasiswi adalah penyandang Sindrom Down. Sindrom yang pertama kali diselidiki oleh dokter Inggris John Langdon Down  pada tahun 1866 ini lazimnya menyebabkan kecacatan intelektual dari tahap ringan hingga sedang. Juga menyebabkan kontraksi otot yang buruk, kelainan jantung atau ginjal (atau keduanya).
Segala kendala ini tak menyurutkan Maria Chiara Coco, gadis penyandang Sindrom Down yang akhirnya berhasil menjadi doktor sastra di Universitas Udine, Italia. Sekadar informasi, kota Udine adalah markas klub sepak bola Udinese.
Maria Coco menjadi doktor pertama dari wilayah Friuli-Venezia Giulia yang menderita sindrom Down. Siswa dari kota Gorizia ini dinyatakan sebagai doktor pada 28 Maret dengan skor 110 dengan pujian (cum laude).Â
Dia membahas tesis interdisipliner yang menghubungkan sejarah seni kuno dan sastra Latin dalam tesis berjudul "Piramo dan Tisbe di Ovidio: gambar dan kata-kata".
Pembimbingnya adalah Matteo Cadario, profesor arkeologi klasik, dan Marco Fucecchi, seorang profesor sastra Latin.Â
Profesor Cadario memuji tesis Maria Chiara Coco. "Tesisnya membuktikan antusiasme tulusnya terhadap mitologi, ikonografi, dan budaya klasik".
Ujian Daring
Menariknya, ujian doktoral Maria dilakukan secara daring karena adanya wabah corona. Hal ini sebenarnya sedikit mengurangi suasana ujian normal yang didambakan oleh Maria dan keluarganya. Apa daya, ujian daring terpaksa dilakukan demi kebaikan bersama.
Maria Coco akhirnya menjalani ujian tesis dengan teleconference. Ibu, kerabat, dan sejumlah teman mendukungnya dengan menjadi penonton online.
Penyandang Disabilitas Dibantu Universitas
Universitas Udine memang menyediakan bantuan khusus mahasiswa-mahasiswi penyandang disabilitas. Selama belajar di Universitas Udine, Maria Chiara Coco didampingi Layanan Bantuan untuk siswa penyandang cacat dan ketidakmampuan belajar khusus.Â