Callum Manning adalah bocah 13 tahun dari Gateshead, Newcastle, Inggris. Ia suka membaca buku dan menulis tanggapan atau review di akun Instagramnya, cals_book_account.
Si Callum yang kalem ini punya kakak perempuan, Ellis Landreth (24). Kak Ellis ini tak terima adik tercintanya dirundung (dibully) teman-teman gegara suka baca buku.
Si kakak lalu protes di akun Twitternya pada Jumat, 28 Februari. Intinya begini: “Adikku buat akun Instagram review buku kok malah dibully? Apa salahnya?”
Twitter does its magic. Cuma beberapa jam setelah cuitan Ellis viral, ribuan pengikut baru mengikuti akun IG adiknya. Kini Callum sudah punya lebih dari 359 ribu bobotoh setia.
Sebagian besar menghibur si kutu buku dengan komentar penyemangat. Bahkan, beberapa pengarang top Inggris rela jadi pengikut bocah cerdas ini dan ramai-ramai menawarkan buku plus tanda tangan mereka.
Bukan hanya itu, gegara dibully, Manning dapat hadiah ambil buku gratis dari sebuah toko buku di kotanya. Wah, kalau begini kita juga mau dong dibully!
Kisah Callum Manning ini sepertinya agak mustahil terjadi di Indonesia. Mengapa? Mana ada bocah umur 13 tahun di Indonesia jadi reviewer buku seperti Callum yang mampu baca tuntas buku setebal ratusan sampai seribu halaman dalam sehari?
Dugaan ini bukan tak beralasan. Mari kita intip hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di Paris. Skor PISA untuk negara kita bikin hati merana. Kemampuan siswa Indonesia dalam membaca cuma dapat skor rerata 371, jauh di bawah rata-rata OECD, yakni 487.
Kenapa bisa setragis itu kemampuan membaca anak Indonesia? Alasan mengapa kemampuan anak-anak kita keteteran mungkin adalah kurangnya pembiasaan di sekolah dan rumah untuk sungguh memahami bacaan bermutu.
Berapa jam membaca dan mengomentari isi bacaan diadakan di sekolah-sekolah kita? Tengok jumlah dan mutu buku koleksi perpustakaan sekolah dan daerah.