Mentari pagi menyapa dengan berkas-berkas sinar perdananya. Burung-burung di luar jendela berkicau riang, membangunkan Donna dari tidurnya. Sementara itu, suami tercinta tertidur pulas.
Hari ini 20 Maret. Sepuluh tahun lalu, hari pernikahannya dengan Arjuna.Â
Angan Donna melayang ke peristiwa bertahun silam saat ia dan Arjuna masih berpacaran. Gara-gara jadi relawan di panti asuhan di pinggiran Jogja, benih-benih asmara tumbuh subur di hati mereka.Â
*
"Dik, di antara anak-anak ini, siapa yang menurutmu paling kreatif?"
"Hmm...pertanyaanmu sulit. Andi pintar melucu. Sinta pandai buat boneka dari kain perca. Dua-duanya kreatif, Mas."
"Aku cuma basa-basi saja, Dik. Moga-moga kalau kita sudah nikah nanti, anak-anak kita juga pintar kayak mereka, ya."
*
Perkataan Arjuna itu terus terngiang di telinga Donna. Sepuluh tahun menikah, tangis bayi belum terdengar dalam rumah mereka.Â
Kala itu vonis dokter bagai pedang menghunjam hatinya. "Maaf, secara medis saudari sulit mendapat keturunan."
Berhari-hari Donna mengurung diri. "Tuhan, mengapa aku tak Kau izinkan mendapat keturunan? Apa dosaku?" gugatnya dengan iringan banjir air mata.
*
Pagi ini pun, Donna tak kuasa menahan tangis. Ia balikkan badan agar Arjuna tak melihat derai air matanya.
Tiba-tiba jemari sang suami mengusap lembut keningnya.Â
"Dik, selamat ulang tahun perkawinan. Bagiku engkau tetaplah istri sempurna."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H