Menariknya, fenomena kemunculan raja dan ratu halu bukan hal baru di Indonesia. Kita masih ingat kemunculan Lia Eden. Wanita ini mendirikan kerajaannya di Jalan Mahoni, Jakarta Pusat pada tahun 2005.Â
Lantas pernah juga mencuat Kerajaan Ubur-Ubur di Kota Serang, Banten pada 2018 lalu. Kerajaan ini didirikan oleh sepasang suami istri berinisial AS dan RC. Pasangan tersebut mengaku mendapat wangsit untuk mendirikan kerajaan dan membuka kunci kekayaan dunia.
Pertanyaannya, mengapa di Indonesia selalu saja ada orang-orang yang mengaku diri sebagai raja dan ratu dan ternyata mendapat cukup banyak pengikut? Kiranya hal ini terkait pula dengan sejarah bangsa kita yang memang kental dengan warna kerajaan.Â
Hingga kini pun figur raja dan ratu sungguhan masih dengan mudah ditemui di negara kita. Di Jogja ada Sultan Hamengkubuwono dan Ratunya. Ada pula Forum Silaturahmi Keraton Nusantara yang beranggotakan sekitar seratus raja dan sultan dari seluruh penjuru Nusantara. Raja dan ratu memang menjadi bagian dari sejarah kolektif bangsa kita yang masih aktual hingga zaman kiwari nan modern ini.
Belum lagi kisah kejayaan aneka kerajaan besar di masa lalu yang melekat dalam memori kolektif bangsa kita. Siapa tak pernah bermimpi bahwa suatu ketika nanti Indonesia akan jaya seperti Sriwijaya dan Majapahit di masa silam? Kampanye politik calon presiden dan pemimpin daerah pun kerap mengangkat tema "mengembalikan kejayaan Nusantara seperti zaman raja-raja agung".Â
Dalam konteks kuatnya memori kolektif akan kerajaan yang sejahtera dan kuat ini, kemunculan raja dan ratu -betapa pun halunya- tetap mendapat tempat di hati sebagian rakyat. Apalagi dibumbui oleh janji peningkatan kesejahteraan dan harta karun yang hendak dibagi-bagi sang raja dan ratu.
Perlunya EdukasiÂ
Sungguh menarik, betapa pun halu dan absurdnya, toh ada saja warga masyarakat yang dengan mudah percaya pada klaim para raja dan ratu palsu. Beberapa bahkan rela membayar hingga puluhan juta rupiah demi mendapat jabatan dalam kerajaan baru.
Hal ini menandakan bahwa edukasi masih harus jadi prioritas pembangunan kita. Edukasi kita memang masih sangat memprihatinkan karena selama ini terlalu berfokus pada menghafal alih-alih berpikir kritis. Akibatnya, dengan mudah orang tergiur janji-janji tak logis.Â
Orang tua dan pendidik juga harus lebih waspada lagi dalam membina generasi muda. Jangan biarkan generasi muda sakit delusion of grandeur atau waham kebesaran tanpa mendapatkan perhatian. Citra diri positif yang realistis harus dikembangkan di dalam diri generasi muda kita agar tak muncul lagi raja dan ratu halu yang bikin malu!
Baca juga tulisan lainnya :Â Orang Sulit Minta Maaf Mungkin Saja Narsis