Siapakah Suster Gerard Fernandez? Pertanyaan ini amat wajar kita lontarkan karena dunia lebih mengenal Mother Teresa dan mungkin Irma Dulce, dua suster pemerhati kaum miskin, ketimbang Suster Fernandez.
Beliau masih sehat di usianya yang ke-81. Tak salah jika sebagian orang sudah menyematkan pujian pada biarawati kelahiran tahun 1938 itu sebagai seorang santa (orang kudus) yang masih hidup. Suster Gerard Fernandez memang mengabdikan seluruh hidupnya bagi Tuhan dan bagi sesama yang paling disingkirkan: para terpidana mati.
Dampingi Terpidana Kasus Besar di Singapura
Suster Gerard Fernandez bergabung dengan kongregasi biarawati "the Good Shepherd Sisters" atau Para Suster Gembala Baik (RGS), pada usia 18 tahun. Ia mulai berkarya di antara para terpidana mati saat ia berusia 36 tahun. Suster Fernandez telah mendampingi 18 terpidana mati selama 35 tahun pengabdiannya.
Terpidana mati yang ia dampingi termasuk terpidana kasus besar di Singapura. Adalah Catherine Tan Mui Choo dan Hoe Kah Hong, dua wanita yang terlibat membantu Adrian Lim dalam pembunuhan dua anak pada tahun 1981. Kasus itu dilatarbelakangi motif pengorbanan anak untuk ritual mistis di Toa Payoh. Kasus itu dikenal sebagai "Toa Payoh ritual murders". Ketiga pelaku dihukum gantung pada 25 November 1988.
Suster Gerard Fernandez sangat terpengaruh oleh tragedi itu karena dia mengenal salah satu korban, yang baru berusia 9 tahun, dan dia juga mengenal ayah Catherine Tan, salah seorang pembunuh.
Dia menulis surat kepada Catherine Tan sebagai wujud cinta tulusnya pada sang pembunuh. Tan menjawab surat itu setelah enam bulan, dengan menuliskan di bagian akhir suratnya: "(dari) Catherine, seekor domba hitam."
Suster Gerard kemudian mengunjungi Catherine di penjara. Kepada sang biarawati, Catherine berkata,"Suster tidak mengutuk saya. Tolong bantu saya berubah."
Penolakan oleh Kerabat Korban
Kebaikan Suster Gerard pada terpidana mati tak lantas membuatnya selalu didukung. Penolakan oleh kerabat korban adalah hal lumrah yang dialami Suster Gerard.
"Mengapa kamu harus membantu mereka? Mengapa kamu harus mendampingi orang yang telah melakukan begitu banyak kejahatan?" demikian protes seorang kerabat salah satu korban.
Meski demikian, Suster Gerard tiap minggu selama tujuh tahun dengan setia mendampingi Catherine sampai hukuman gantung menjemput. Mulai saat itu, Suster Gerard mendampingi lebih banyak lagi terpidana mati. Ia merangkum pengalamannya mendampingi para terpidana mati dengan berkata,"Mereka mulai menyadari bahwa maut akan menjemput...Saya mendampingi mereka guna menyiapkan hati mereka untuk saat terakhir itu."
Dengan kerendahan hati yang istimewa, Suster Gerard berkata pada wartawan yang mewawancarainya,"Masih ada harapan di hati mereka. Inilah yang mengubah diri saya." Ya, Suster Gerard pertama-tama tidak ingin mengubah seseorang jahat menjadi baik, tetapi justru ia sendiri diubah oleh perjumpaan dari hati ke hati dengan terpidana mati yang dibenci dan ditolak oleh masyarakat.
Perlakuan Lebih Manusiawi
Suster Gerard adalah perintis pendampingan rohani bagi para terpidana mati di Singapura. Ia berupaya agar para terpidana mati mendapatkan perlakuan yang lebih manusiawi.
Pada dekade 1980-an, Singapura hanya membolehkan terpidana mati dihukum dengan mengenakan pakaian narapidana. Akan tetapi, berkat upaya Suster Gerard, otoritas penjara Singapura akhirnya mengizinkan para terpidana mati mengenakan pakaian favorit mereka saat dihukum mati.
Tiga hari sebelum Catherine dan Hoe Kah Hong dihukum gantung, pada Jumat, 25 November 1988, Suster Gerard meminta tolong seorang biarawati untuk menjahit gaun-gaun satin biru dan menyiapkan sepatu putih bagi dua terpidana mati itu.
Saat Catherine dan Hoe Kah Hong mengenakan gaun indah itu, mereka bertanya,“Bagaimana penampilanku?” Bagi Suster Gerard, pertanyaan itu menandakan bahwa mereka telah mampu menghargai diri mereka sendiri. Mereka telah bertobat dan mengampuni diri mereka sendiri atas apa yang telah mereka lakukan. “Saya tersentuh oleh transformasi yang saya lihat dalam diri mereka," kenang Suster Gerard.
Penghargaan dan Film
Karena ketulusan cintanya pada terpidana mati, sangat wajar Suster Fernanda menerima penghargaan. BBC memilihnya menjadi salah satu wanita dalam daftar 100 Women: the most inspiring women across the globe pada tahun 2019.
Kisah nyata Suster Gerard bahkan telah diangkat ke layar perak. Pada 2018, kisahnya ditampilkan dalam film pendek "Sister" karya sineas Chai Yee Wei. Film ini menyorot Suster Gerard dan konselingnya pada Catherine Tan Mui Choo dan Hoe Kah Hong sebelum mereka dihukum mati. Meski bertema kekatolikan, film ini dapat memperkaya wawasan kemanusiaan tiap pemirsanya. Selamat menyaksikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H