Surat Bupati Demak yang berisi "Larangan Bertamu Menjelang Magrib dan Isya" beredar luas di layanan perpesanan dan media sosial. Maksud baik Bupati Demak, HM Natsir ialah mendukung penerapan visi misi Pemkab Demak yakni 'Gerakan Matikan TV, Ayo Mengaji'.
Surat edaran itu ditetapkan tanggal 2 Januari 2020. Sasaran imbauan tersebut adalah seluruh anggota Aparatur Negeri Sipil (ASN), TNI dan Polri, tokoh masyarakat, karyawan-karyawati BUMN, hingga BUMD di Kabupaten Demak.
Profil Kabupaten Demak
Kabupaten Demak yang teletak hanya 25 km di timur Kota Semarang itu menurut sensus 2010 dihuni oleh 1.055.579 jiwa. Demak mengandalkan ekonominya dari sektor pertanian dan perkebunan. Belimbing Demak Kapur dan Demak Kunir menjadi salah satu produk andalannya. Juga jambu citra delima yang tersohor.Â
Menurut data BPS Jawa Tengah tahun 2010 ini, penduduk Demak memang mayoritas beragama Islam. Akan tetapi, seperti banyak daerah lain di Tanah Air, Demak juga dihuni warga beraneka agama: Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan penganut kepercayaan.Â
Imbauan Bupati Ditanggapi Gubernur
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah ikut menanggapi imbauan Bupati Demak mengenai larangan bertamu jelang maghrib dan isya. Ganjar, sang politikus PDIP, mengatakan bahwa imbauan internal semacam itu sebaiknya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk edaran tertulis.Â
Ganjar juga menegaskan bahwa tamu adalah raja. Ganjar menyarankan, jika tamu datang bertepatan dengan waktu ibadah, tuan rumah bisa saja mengajak para tamunya untuk beribadah bersama.Â
"Tamu itu adalah raja, kapanpun bertamu dipersilakan. Kalau dibuat suatu regulasi mau dihukum apa? Bertamu kok dihukum. Oh, agar tidak mengganggu pada saat mereka salat, diajak salat aja tamunya," kata Ganjar.
Imbauan Larangan Bertamu, Perlukah?
Hemat penulis, tanpa imbauan tertulis pun para warga yang berakal sehat sudah paham bahwa mereka harus menghormati waktu beribadah pemeluk agama-agama di Indonesia.Â
Siapa yang tidak paham bahwa jelang maghrib dan isya, saudara-saudari beragama Islam hendak menunaikan ibadah? Tentu hal ini sudah menjadi pengetahuan umum, lebih lagi bagi warga yang tinggal di daerah mayoritas muslim.Â
Imbauan larangan bertamu semacam itu kiranya justru menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Bukankah -seperti nasihat Ganjar- tamu yang datang justru bisa diajak ibadah bersama jika memang seagama?Â
Toh jika karena kondisi tertentu (sulit memperkirakan jam kedatangan karena faktor transportasi), tamu (yang mungkin tidak seagama) tiba jelang waktu ibadah, bukankah cukup mengatakan,"Maaf, sudi menunggu sebentar karena kami akan ibadah."
Saya pikir, warga Indonesia yang sudah terbiasa bertoleransi sejak zaman kerajaan kuno tak perlu diatur-atur dengan surat edaran, betapa pun mulianya tujuan surat tersebut.Â
Saya sangat yakin, tamu beda agama yang karena situasi bertamu jelang waktu ibadah akan bisa memahami jika tuan rumah menjalankan ibadah sesuai petunjuk agama yang dianut. Yang umum terjadi, si tamu meminta maaf, bicara seperlunya lantas berpamitan atau menunggu dengan rela sampai tuan rumah selesai beribadah.Â
Gejala Redundancy
Ditinjau dari sudut pandang kebahasaan, fenomena perumitan ini biasa disebut dengan gejala redundancy. Kamus Cambridge mendefinisikan redundancy sebagai "a situation in which something is unnecessary because it is more than is needed". Artinya, suatu situasi di mana sesuatu tidak diperlukan karena hal itu berlebihan.Â
Ya, memang kecenderungan kita, warga negara plus 62 adalah mempersulit hal yang mudah dan memperumit hal yang sederhana. Â
Kata Gus Dur, gitu aja kok repot... !
Rujukan:Â kompas.com; smol
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H