Dalam hidup sehari-hari, kita mungkin pernah bertemu dengan orang-orang yang sulit meminta maaf. Padahal, mereka jelas-jelas telah melakukan kesalahan.Â
Bisa jadi, kesalahan mereka terbilang cukup fatal. Banyak orang mengetahui kesalahan tersebut, namun yang bersangkutan tetap saja merasa semua seolah baik-baik saja.
Tentu pengalaman menghadapi pribadi-pribadi yang sulit meminta maaf seperti ini amatlah mengesalkan. Kita terheran-heran, "Ini orang sudah salah, kok masih santuy-santuy aja, ya?
Apa, sih sebabnya?"
Studi tentang narsisme dan sulit minta maaf
Menariknya, dunia psikologi terus mempelajari fenomena di balik pribadi-pribadi yang sulit meminta maaf. Studi oleh Masterson (1981) menyimpulkan, orang dengan gangguan kepribadian narsisistik perlu membangun dan melindungi citra dirinya yang "digembungkan".Â
Menggembungkan cira diri secara berlebihan adalah cara orang-orang narsistik melindungi diri mereka yang lemah. Lebih dari segalanya, mereka ingin memproyeksikan kesempurnaan dan keangkuhan.
Apa yang terjadi ketika seorang narsisis melakukan kesalahan, bahkan kejahatan? Sangat sederhana: pribadi narsistik tidak mau bertanggung jawab atas apa pun. Karena jika mereka melakukannya, mereka akan menentang citra kesempurnaan diri yang mereka bangun.
Sementara itu, Andrew P. Morrison dalam Essential Papers on Narcissism (1986) berpendapat bahwa tujuan utama seorang narsistik adalah untuk menemukan seseorang sebagai "cermin". Mereka ingin seseorang setuju dengan mereka setiap saat.
Orang-orang narsisis lebih suka berkawan dengan orang-orang yang terus-menerus mengatakan kebaikan mereka. Mereka ingin semua orang menjadi cermin "ibu tiri Putri Salju yang jahat". Setiap hari, cermin itu memberi tahu ratu bahwa dia adalah yang tercantik dari semuanya.
Morisson menulis, saat Anda memberi tahu pribadi-pribadi narsistik tentang kesalahan yang mereka buat atau tentang perasaan orang yang telah mereka lukai, hampir mustahil ini membuat mereka meminta maaf.