Saling mengisi dan saling melengkapi, bukan? Tambah lagi, kerukunan antar umat beragama bisa diciptakan di tempat kerja. Jadi, bisnis yang lintas agama itu sungguh indah!Â
Wasana Kata
Tulisan ini dianggit dengan kesadaran bahwa isu agama selalu jadi perdebatan di negeri kita. Terutama karena isu agama dengan mudah dipolitisasi oleh politikus dan partai. Juga, isu agama kerap dikomersialisasi.Â
Agama sering dijadikan magnet untuk menarik konsumen, meski sejatinya kualitas dan kredibilitas (pe)bisnis amat meragukan. Contoh nyata, kasus investasi bodong dengan menggaet pemuka agama sebagai "bintang iklan"nya. Sekadar catatan, ini bukan cuma terjadi pada pemuka agama A atau B saja.Â
Penulis prihatin, bukan demi membela agama-agama tertentu saja. Akan tetapi, lebih-lebih penulis prihatin karena ulah sebagian pemeluk agama justru kurang mencerminkan keindahan ajaran luhur agama-agama di Indonesia tercinta. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.Â
Apa yang (sempat) terjadi dengan TLJ dan Chocolicius semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pebisnis dan kita semua: berbisnis di Indonesia ya artinya menghayati Pancasila dalam praktik bisnis sehari-hari.Â
Kita harus ingat juga, kemerdekaan kita adalah buah perjuangan para pahlawan lintas agama, suku, dan ras. Tidak elok memperlakukan orang secara diskriminatif semata karena perbedaan SARA.Â
Anjuran ini berlaku bukan hanya bagi pemeluk satu agama saja, karena beda provinsi/kota di negara kita, beda pula siapa yang jadi "agama mayoritas"!Â
Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan.Â
Salam cinta tanah air, Indonesia berpancasila.Â