Waktu saya masih kecil, saya mulai tertarik membaca majalah dan tabloid anak-anak. Orang tua saya amat murah hati membelikan bahan bacaan bermutu bagi saya.Â
Beranjak remaja, bacaan saya beralih ke koran lokal dan tabloid olah raga. Pada masa-masa dewasa muda, koran nasional dan majalah-majalah populer jadi santapan saya.Â
Tentu saja, harian Kompas termasuk dalam surat kabar yang rutin saya baca. Pemberitaannya yang berimbang dan penyajiannya yang ciamik membuat saya senang. Â
Artikel humaniora, opini, dan bahasa Kompas membuat saya puas membaca. Muncul impian di  hati kecil saya untuk suatu ketika mengirim tulisan ke Kompas, koran panutan surat kabar di Indonesia tercinta. Sulit memang. Akan tetapi, ungkapan bijak berkata, "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit!"
Dari Luring ke Daring
Zaman beralih dari luring ke daring. Kompas pun membaca perubahan zaman ini dengan membuat aneka laman berita daring, misalnya Kompas.com. Kalau tak keliru ingat, dari Kompas.com ini lah saya mengenal Kompasiana dan akhirnya mulai ikut meramaikan blog keroyokan ini sejak awal tahun ini.
Saya sempat dan masih menulis artikel dan cerpen kerohanian di akun media sosial dan beberapa majalah kerohanian populer. Dunia blog yang serius baru saya kenal saat bergabung dengan Kompasiana, blog jurnalisme warga terbesar di Asia Tenggara.
Ada keasyikan dan kebahagiaan tersendiri saat boleh berbagi tulisan dan saling berkomentar dengan sesama Kompasianer. Uniknya, meski belum pernah bersua, rasanya sudah dapat banyak sahabat dan kerabat baru di sini.Â
Beberapa Kompasianer bertukar nomor telepon dan mengajak saya berteman di medsos. Alamat surel saya memang saya pajang di profil Kompasiana. Fitur percakapan Kompasiana juga memudahkan kontak ini terjadi. Kompasiana sungguh menawarkan persahabatan dan persaudaraan daring dan luring yang tak garing!Â
Lima Pengalaman Bikin Makin Sayang Kompasiana
Meski seumur jagung sebagai warga kampung digital Kompasiana, saya boleh mengalami pengalaman-pengalaman unik yang bikin saya makin sayang Kompasiana: