1. Jadi korban "stalking" para pembaca senyap
"Stalking" bermakna kurang-lebih "mengikuti tanpa ketahuan". Saya jadi korban yang dikuntit para pembaca senyap Kompasiana. Ibunda saya yang tukang jualan bercerita, "Eh, Nak tahu nggak, ada beberapa orang bilang pernah baca tulisanmu di Kompasiana."
"Siapa?" tanya saya. "Macam-macam. Dari pembeli, tetangga, sampai kenalan. Ada yang bilang sering baca tulisanmu," kata sang wanita terindah dalam hidup saya.Â
Wah, jelek-jelek begini ada juga ya diam-diam rajin baca tulisan saya. Serasa bukan siapa-siapa tapi punya pengagum rahasia. Aduh, jadi tersandung, eh tersanjung...
Benar adanya. Jika kita cermati, sebagian pembaca Kompasiana adalah para pembaca sunyi di dalam dan luar Kompasiana. Ini alasan mengapa kita perlu makin sayang pada Kompasiana.Â
2. Jadi korban plagiasi
Terkait dengan para penguntit atau pemuja rahasia, ternyata sebagian pembaca senyap Kompasiana adalah para jurnalis.Â
Buktinya, salah satu tulisan saya sempat diplagiat sebuah jaringan koran daring ternama tanah air. Bukan hanya saya yang pernah jadi korban plagiasi. Ada setidaknya tiga kompasianer yang saya kenal juga pernah jadi sasaran plagiasi.Â
Perasaan saya gado-gado gurih campur rendang: sedih tapi juga senang. Tapi lebih dominan senangnya karena artinya tulisan saya dianggap layak dijiplak :)
Kompasiana dan kompasianer patut bergembira juga karena tragedi ini jadi salah satu bukti bahwa Kompasiana dibaca para jurnalis profesional! Ini juga alasan mengapa kita wajib makin cinta pada Kompasiana.
3. Jadi pembimbing bagi "junior" yang lebih senior