Hari pertama di bulan Oktober rupanya membawa kebahagiaan bagi penulis pemula seperti saya. Tulisan rubrik Bahasa bertajuk "Boneka (Bukan) dari India" yang saya kirim tiga minggu lalu akhirnya dimuat Kompas cetak 1 Oktober 2019.
![kompas.id](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/10/02/bandicam-2019-10-01-19-14-03-274-5d938a76097f3612ca0890f2.jpg?t=o&v=770)
Ditolak Berkali-kali sampai Tak Sakit Hati
Seingat saya, sudah beberapa kali tulisan saya dikembalikan oleh Redaksi Kompas. Semua artikel yang saya kirim adalah artikel opini. Ada beberapa alasan penolakan Kompas atas tulisan-tulisan saya sebelumnya.Â
Pertama, tema sudah banyak diulas penulis-penulis lain atau sudah tidak hangat lagi.
Kedua, tidak ada tempat. Alasan kedua ini amat bisa kita pahami karena memang persaingan untuk menembus Kompas amat ketat, tak sebanding dengan kemampuan Kompas menyediakan ruang untuk semua artikel yang sebenarnya mutunya unggul.
Saya salin-potong surat dari Kompas:
"Kami memberitahukan bahwa pada tanggal NN Redaksi Kompas telah menerima Artikel Anda berjudul "NN". Terima kasih atas partisipasi dan kepercayaan yang Anda berikan kepada Kompas.
Setelah membaca dan mempelajari substansi yang diuraikan di dalamnya, akhirnya kami menilai ARTIKEL tersebut tidak dapat dimuat di harian Kompas. Pertimbangan kami,
√ sudah banyak diulas di media
Harapan kami, Anda masih bersedia menulis lagi untuk melayani masyarakat melalui Kompas, dengan topik atau tema tulisan yang aktual dan relevan dengan persoalan dalam masyarakat, disajikan secara lebih menarik.
Untuk kelengkapan administrasi, bila mengirimkan tulisan mohon disertakan pas foto (Abaikan bila sudah pernah kirim). Terima kasih."
 -------
Saat saya curhat di media sosial bahwa tulisan saya ditolak Kompas, sahabat-sahabat dunia maya menghibur dan menasihati. Umumnya nasihat yang saya terima adalah "Jangan menyerah" dan "Coba kirim ke media massa lain (yang kompetisinya tak sekeras Kompas)".
Pengalaman pertama kali ditolak Kompas memang sakit di hati. Namun, karena sudah ditolak berkali-kali, saya sudah tidak sakit hati lagi.Â
Apalagi setelah seorang rekan penulis yang sudah sering tulisannya menembus Kompas mengatakan pada saya, "Saya juga sering ditolak. Dari antara sepuluh tulisan, satu atau dua yang akhirnya dimuat Kompas."
Trik Menulis di Kompas setelah Berkali-kali Kandas
Perkenankan saya membagikan pengalaman ditolak Kompas yang saya gubah menjadi trik menulis di Kompas setelah berkali-kali kandas:
1. Baca baik-baik kriteria artikel yang diterima Kompas
Kriteria tersebut tercantum dalam surat penolakan yang saya terima. Kriteria umum untuk ARTIKEL Kompas:
- Asli, bukan plagiasi, bukan saduran, bukan terjemahan, bukan sekadar kompilasi, bukan rangkuman pendapat/buku orang lain.
- Belum pernah dimuat di media atau penerbitan lain termasuk Blog, dan juga tidak dikirim bersamaan ke media atau penerbitan lain.
- Topik yang diuraikan atau dibahas adalah sesuatu yang aktual, relevan, dan menjadi persoalan dalam masyarakat.
- Substansi yang dibahas menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan komuntas tertentu, karena Kompas adalah media umum dan bukan majalah vak atau jurnal dari disiplin tertentu.
- Artikel mengandung hal baru yang belum pernah dikemukakan penulis lain, baik informasinya, pandangan, pencerahan, pendekatan, saran, maupun solusinya.
- Uraiannya bisa membuka pemahaman atau pemaknaan baru maupun inspirasi atas suatu masalah atau fenomena.
- Penyajian tidak berkepanjangan, dan menggunakan bahasa populer/luwes yang mudah ditangkap oleh pembaca yang awam sekalipun. Panjang tulisan 3,5 halaman kuarto spasi ganda atau 700 kata atau 5000 karakter (dengan spasi) ditulis dengan program Words.
- Artikel tidak boleh ditulis berdua atau lebih.
- Menyertakan data diri/daftar riwayat hidup singkat (termasuk nomor telepon / HP), nama Bank dan nomor rekening (abaikan bila sudah pernah kirim).
- Alamat e-mail opini@kompas.co.id
2. Pilih Rubrik yang Tepat dan Cintailah Rubrik Itu
Setahu saya, Kompas cetak menerima tulisan pembaca untuk beberapa rubrik: opini, bahasa, dan cerpen. Kadang rubrik humaniora juga terbuka untuk tulisan dari pembaca.Â
Seorang rekan saya pernah menulis pengalaman dan pengamatan tentang pendidikan anak-anak migran di Nunukan dan ternyata dimuat di salah satu halaman Kompas bertahun silam. Mohon melengkapi informasi ini jika ternyata tidak lengkap.
Jika ingin tulisan dimuat di Kompas, pilih rubrik yang tepat sesuai kemampuan diri dan persyaratan dari Kompas. Satu hal yang penting dilakukan:Â
cintailah rubrik yang Anda incar dengan sepenuh hati.
Maksudnya, seringlah membaca secara rutin rubrik itu untuk mendapatkan gambaran mengenai panjang tulisan, gaya penulisan, dan selera redaksi. Â
Artikel Opini
Artikel opini Kompas biasanya mengandaikan penulisnya adalah orang-orang yang kompeten dalam bidang atau tema tulisan. Tak heran, tulisan penulis pemula atau penulis "bukan siapa-siapa" amat sulit menembus rubrik opini Kompas, meski -mungkin- kualitas tulisan yang dibuat tidak buruk-buruk amat.Â
Sebagai koran dengan tradisi unggul, Kompas amat wajar menginginkan rubrik opininya diisi (hanya) dengan artikel unggul yang ditulis penulis-penulis berkompeten di bidang masing-masing.
Satu hal penting, artikel opini membahas isu aktual atau isu yang sebentar lagi akan aktual. Maka penulis perlu mengirimkan tulisan opini pada waktu yang tepat agar artikel masih hangat ketika sampai di meja redaksi.
Artikel Cerpen
Saya belum pernah mengirim cerpen ke Kompas dan bukan pengamat rubrik cerpen Kompas. Sila penulis lain yang lebih tahu membahas secara mendalam. Yang saya tahu, cerpen-cerpen Kompas selalu membawa pesan kemanusiaan.Â
Sebuah koran lain yang memang menyasar publik daerah tertentu  cenderung menerima cerpen bertema mistis lokal. Jadi, jangan mengirim cerpen, misalnya berjudul "KKN di Desa Penjahit" ke Kompas :)
Artikel Bahasa
Nah, setelah menulis artikel opini dan belum juga dimuat, saya mencoba menulis artikel untuk rubrik Bahasa. Saya baca beberapa artikel rubrik Bahasa untuk mengetahui tema-tema yang sudah ditulis dan gaya penulisan untuk rubrik ini.Â
Panjang artikel bahasa (sesuai pengalaman saya) berkisar 470 kata dan 3.340 character with spaces (gunakan fitur Word Count di MS Word).
3. Kumpulkan dan Pelajari Bahan-bahan Penulisan
Langkah paling penting, hemat saya, dalam menulis artikel adalah justru mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan penulisan. Apa saja bahan-bahan penulisan? Tergantung jenis artikel yang hendak kita racik.
Artikel opini dan bahasa tentu memerlukan bahan utama berupa data, statistik, pendapat para ahli. Bahan-bahan itu dapat ditemukan dalam bentuk cetak maupun daring. Tidak harus membeli, kita bisa meminjam juga di perpustakaan, numpang baca di toko buku, atau meminta tolong rekan yang punya akses ke perpustakaan digital di dalam dan luar negeri.Â
Internet juga menyediakan informasi berlimpah. Tinggal kemampuan membaca referensi bahasa asing saja yang perlu kita tingkatkan, selain kelihaian mencari dengan kata-kata kunci yang tepat di mesin peramban.
Sekadar informasi, saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk menulis artikel rubrik bahasa yang dimuat di Kompas. Saya hanya meluangkan waktu untuk menjelajahi luasnya informasi gratis di internet.Â
Cerpen juga memerlukan bahan-bahan berupa pokok-pokok inspirasi dan data yang mendukung penggambaran cerita. Beberapa penulis unggul bahkan mengadakan riset ke negara atau daerah yang mereka jadikan latar belakang kisah.Â
Penulis yang baik bahkan mengadakan wawancara, membaca literatur, dan mengadakan penelitian sebelum menulis karya. Tujuannya agar karya yang dianggit benar-benar bermutu.
4. Gunakan Gaya Penulisan Populer
Tulisan rubrik Bahasa yang saya kirim sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Ia menyajikan ulasan mengenai sejarah kata "boneka" yang diserap dari bahasanya Cristiano Ronaldo, pemain sepak bola dari Portugal. Saya mencoba mengulas dengan bahasa ilmiah populer sehingga pembaca umum pun bisa memahami tulisan saya.
Tidak perlu "nginggris" dan sok ilmiah dengan istilah-istilah yang sukar dipahami. Tidak perlu menganggit kalimat beranak-cucu. Cukup menulis dengan sederhana dan lugas. Tak perlu membuat paragraf panjang. Justru tulisan di koran luring dan daring tidak boleh berupa paragraf super panjang.
Tidak ada bedanya antara gaya penulisan saya saat menulis di Kompasiana dan di Kompas. Justru berkat menulis di Kompasiana, kemampuan saya menulis dengan gaya (ilmiah) populer makin terasah.Â
Buahnya adalah dimuatnya artikel perdana di Kompas setelah berulang kali kandas. Terima kasih, Kompasiana dan rekan-rekan Kompasianer serta pembaca sekalian.
5. Jangan Menyerah
Tampak klise, tetapi benar adanya: Jangan menyerah saat tulisan Anda ditolak mentah-mentah atau setengah matang oleh Kompas. Saya cukup beruntung berhasil menembus Kompas setelah percobaan gagal di bawah sepuluh kali. Ada penulis yang baru berhasil setelah berpuluh-puluh kali mencoba.Â
Percayalah, jika kita belajar dari kegagalan, suatu saat upaya dan doa kita akan membuahkan hasil.
Oh ya, jika memang penilaian jujur atas kemampuan diri menyimpulkan bahwa tulisan Anda belum layak dikirimkan ke Kompas, Â coba kirimkan ke media lain sembari terus meningkatkan kualitas tulisan.
Selamat mencoba. Saya yang biasa-biasa saja bisa kok, apalagi Anda!
Jika Anda berhasil menembus Kompas setelah menerapkan coretan saya ini, mohon berkenan mentraktir saya di warung gado-gado Bu Juminten...
Salam literasi.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI