Walhasil, setiap kali si Kompasianer menayangkan artikel baru, pembaca langsung mengingatnya sebagai Kompasianer yang memiliki perhatian pada bidang tertentu atau Kompasianer yang konsisten dalam berbagi hal-hal positif, menarik, dan bermanfaat lewat artikel dan ragam konten lainnya.Â
NB: Saya tidak mematuhi syarat Mbah Dukun tentang "menulis di satu bidang atau tema saja".Â
Pengalaman Saya
Selama ini, saya sendiri berusaha menulis tulisan yang minim salah ketik, bisa dipercaya, dan tak sekadar membuat judul click bait. Selain itu, saya berusaha memberi vote dan berkomentar serta membalas komentar dan kunjungan rekan-rekan Kompasianer. Sedapat mungkin, saya hindari plagiasi dengan mencantumkan sumber dan inspirasi tulisan.
Guna "menghindari" plagiasi, saya biasa melakukan "permak ulang" dengan mengganti kata-kata dengan sinonim dan mengubah susunan kalimat agar tulisan tidak persis sama dengan tulisan asli. Tentu saja, penulis asli bisa mengajukan keberatan jika langkah "permak ulang" ini masih dinilai sebagai plagiasi. Selain itu, tak cukup sekadar menerjemahkan artikel berbahasa asing ke bahasa Indonesia. Saya biasa menambah opini dan pengalaman pribadi agar artikel terjemahan itu memiliki nilai tambah.Â
Pentingnya Menjadi Kompasianer yang Santun
Satu hal yang saya coba lakukan ialah berusaha menjadi penulis yang santun. Beberapa kali saya memberanikan diri menulis tema-tema sensitif, biasanya seputar agama dan politik.Â
Kunci kesantunan, antara lain, adalah dengan memaparkan argumen yang tidak merendahkan pribadi (argumentum ad hominem) dan menghindari argumen berdasarkan diskriminasi SARA.Â
Perlu rendah hati meminta maaf pada bagian pengantar tulisan agar pembaca memahami maksud baik tulisan tersebut dan tidak hanya berhenti membaca judulnya saja. Juga tetap perlu wawas diri bahwa kebenaran itu tidak selalu tunggal. Artinya, pendapat pribadi tidak selalu harus benar. Justru mutu diri diukur juga dari kerendahan hati menerima perbedaan pendapat.Â
Kadang harus diakui, amat mudah tergoda untuk ngegas pol saat membahas agama dan politik, utamanya di kolom komentar. Untuk menghindari tensi panas yang tak perlu, kadang harus mengalah. Tidak semua komentar pedas perlu dikomentari dengan cabe ^_^.Â
Sombong tak perlu dibalas dengan sombong. Sebabnya, di atas langit masih ada langit. Kadang kita tidak sadar, siapa sosok sebenarnya di balik nama seorang penulis di Kompasiana. Bisa saja meski tak sepaham dalam pilihan politik dengan kita dan ia amat fanatik mendukung tokoh politiknya, ternyata si penulis ini orang yang baik dan suka menolong anak yatim-piatu.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!