Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama FEATURED

Seberapa Baik Kita Perlakukan Karyawan dan Karyawati?

1 Mei 2019   06:16 Diperbarui: 1 Mei 2022   07:01 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Buruh jadi momen yang tepat untuk bercermin diri sebagai majikan: seberapa baik kita memperlakukan karyawan dan karyawati kita?

Beberapa tahun lalu, saya bertugas di sebuah Gereja di suatu kabupaten. Suatu ketika, seorang karyawati muda -yang adalah umat Gereja tempat tugas saya- mengeluh pada saya.

"Saya sering tidak bisa ikut ibadah misa hari Minggu," keluhnya pada saya.

"Lho, kenapa tidak bisa. Minggu kan libur, Mbak?" tanya saya.

"Iya. Tapi hari Minggu saya kadang harus masuk kerja. Bos saya tidak mau tahu. Kalau jatah shift ya harus saya taati," tuturnya.

Mendengar penuturan sang karyawati toko itu, saya menghela nafas panjang.

Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang majikan (yang ternyata juga Katolik) tidak memberi kelonggaran bagi karyawatinya yang Katolik untuk beribadah.

Duh, berarti si Bos tadi gagal total menjadi majikan yang baik.

tempo.com
tempo.com
Pegawai Jadi Seperti Saudara Sendiri
Kebetulan keluarga kami memiliki usaha kecil-kecilan di rumah. Orang tua saya mempekerjakan sejumlah karyawan dan karyawati. Sebagian besar tak seiman dengan kami.

Sebagaimana seharusnya, dengan segala keterbatasan kami, kami berusaha menjadi keluarga majikan yang baik.

Pernah memang telat menggaji. Pernah pula menyakiti hati karyawan dan karyawati dengan perilaku atau perkataan yang kurang pas.

Namun, soal mengasihi karyawan dan karyawati, orang tua saya berusaha memperlakukan mereka sebagai saudara dan saudari sendiri.

Ibu saya yang justru mengingatkan karyawan dan karyawati beragama Islam untuk menunaikan ibadah salat.

Adik saya yang waktu itu masih kecil kadang ikut si Mbak salat di musala belakang rumah. 

Karena terbiasa melihat si Mbak salat, adik saya -begitu melihat tikar- tetiba menirukan gerakan salat. Kami tertawa melihat tingkah polosnya.

Jelang libur Lebaran, orang tua saya berusaha memberi sedikit THR. Kadang memang tak berupa uang, tapi sembako sekadarnya.

Jujur, tak semua karyawan dan karyawati bertahan lama. Akan tetapi, ada juga karyawan dan karyawati yang cukup lama bekerja pada kami.

Salah satunya, sebut saja Mbak Asih.

Ia yang mengasuh saya waktu saya balita. Mbak Asih memang akhirnya memilih bekerja di kota, tapi tiap kali pulang kampung dan lewat depan rumah kami, ia selalu mampir. Yang ia tanyakan adalah kabar saya, yang ia asuh dengan penuh kasih-sayang seperti mengasuh anak sendiri.

Terakhir berkontak dengannya, ia terharu melihat saya yang telah tumbuh dewasa. Saya pun dibuatnya terharu karena ia ternyata terus mendoakan kami sekeluarga, termasuk saya, agar selalu dalam lindungan Tuhan Yang Esa.

Karyawati lain yang lama bekerja pada keluarga kami adalah Mbok Nah, sebut saja begitu namanya.

Mbok Nah rumahnya di sebuah kampung yang berjarak sekitar lima kilo dari rumah kami. Tiap hari ia berangkat dan pulang naik sepeda. Suatu sore, hujan deras. Mbok Nah tak bisa mengendalikan sepedanya di jalanan licin. Ia jatuh di selokan. Gegar otak ringan.

Keluarga kami berusaha ikut membiayai perawatannya. Syukurlah, ia berangsur pulih. Sayangnya, setelah operasi, ia tak mampu lagi bekerja seperti semula. Dengan berat hati, Mbok Nah berhenti bekerja dan hanya bisa menganggur di rumahnya.

Karyawan Perlu Dikasihi sebagai Saudara Sendiri
Karyawan dan karyawati perlu kita kasihi seperti kita mengasihi saudara sendiri. Mereka sama-sama manusia yang ingin mengasihi dan ingin dikasihi. Ingin menghormati dan ingin dihormati. 

Di mata Tuhan, martabat karyawan sederajat dengan majikan. Karyawan memang secara hubungan kerja "harus" taat pada perintah majikan. Tapi, bukan berarti majikan boleh memaksakan kehendak sesuka hati pada bawahan.

Kunci memperlakukan karyawan dengan baik adalah dengan menempatkan diri dalam posisi mereka.

"Seandainya aku (majikan) jadi dia (karyawan atau karyawati), tega tidak aku menahan gajinya?

Seandainya aku jadi dia, tegakkah aku melarangnya beribadah atau cuti yang memang sudah jadi haknya?

Seandainya aku jadi dia, tegakah aku memberi pekerjaan yang terlampau berat dan menuntut?

Seandainya aku jadi dia, tegakah aku memarahi dengan kata-kata kasar?"

Sila meneruskan sendiri pengandaian-pengandaian itu...

Selamat Hari Buruh, wahai saudara-saudariku kaum buruh yang berpeluh dan tak mengeluh bekerja demi keluarga tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun