Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miris, Warga Baru yang Beda Agama Ditolak Kampung di Jogja

2 April 2019   19:08 Diperbarui: 2 April 2019   21:01 2888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pradito Rida Pertana/detikcom

Slamet Jumiarto, warga asal Semarang, sudah 19 tahun tinggal di Yogyakarta. Baru-baru ini ia yang sudah ber-KTP Yogya mencari kontrakan di tempat yang menurutnya lebih nyaman. Tertarik oleh sebuah iklan, ia lantas mengontrak rumah di Dusun Karet, Pleret, Bantul, DIY.

Pemilik rumah yang dikontrakkan itu adalah juga warga pendatang. Awalnya, semua tampak lancar.

"Saya pindah ke sini karena (rumah) lebih luas dan harganya lebih murah. Terus hari Sabtu (30/3/2019) saya mulai menempati rumah ini," ujar Slamet di rumah kontrakannya, RT 8 Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret.

Sebelum pindah, Slamet sudah meminta konfirmasi dari pemilik rumah dan calo mengenai perbedaan agama yang ia anut dengan yang dianut warga asli Dusun Karet. Dua pihak tersebut mengatakan tidak ada masalah.

Celakanya, saat menghadap ketua RT 8 untuk minta izin dan menyerahkan dokumen, si ketua RT menolak memberi izin bagi keluarga Slamet.

Alasannya, agama keluarga Slamet tidak sama dengan agama warga Dusun Karet.

Upaya Slamet memprotes perlakuan ketua RT itu kepada Kepala Dusun sia-sia. Kadus juga menolak. Alasannya, di Dusun Karet sudah ada aturan yang dibuat sejak tahun 2015 dan disepakati warga. Aturan itu juga memuat masalah jual beli tanah sampai kompensasi. Penduduk luar Karet yang beli tanah tidak diperbolehkan yang beda agama dengan masyarakat Dusun Karet.

Slamet melayangkan protes ke Kantor Gubernur DIY

Slamet merasa amat kecewa. Ia menyampaikan keluhan ke Kantor Gubernur DIY. Laporan Slamet dialihkan ke Sekda Bantul, dan dari Sekda Bantul dialihkan ke Kelurahan Pleret. Sayangnya, mediasi dengan Kelurahan Pleret dan Pedukuhan Karet gagal.

Sejatinya, masalah ini sudah didengar oleh DPRD DIY. 

Yoeke Indra Agung Laksana, ketua DPRD DIY, mendesak Dukuh Karet merevisi aturan yang melarang warga beda agama dari mayoritas warga setempat untuk tinggal di kampung itu.

"Kalau kita menganggap bahwa kita merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, berarti memang itu (aturan kampung) harus kita revisi," tegas Yoeke.

Yoeke telah berbicara dengan Kepala Dusun Karet. Jawaban yang ia terima, Slamet sudah menerima hasil pertemuan dengan pengurus Dusun Karet.

Slamet boleh menempati kontrakannya hanya selama enam bulan. Setelahnya, Slamet dan keluarga harus pergi meninggalkan Dusun Karet.

Kutipan Aturan Dusun Karet

"Syarat bagi pendatang baru di padukuhan Karet

Bersifat non materi:
1. Pendatang baru harus Islam. Islam yang dimaksud adalah sama dengan faham yang dianut oleh penduduk padukuhan Karet yang sudah ada.

2. Tidak mengurangi rasa hormat, penduduk padukuhan Karet keberatan untuk menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama non islam seperti yang dimaksud pada ayat 1."

Demikianlah kutipan aturan yang membuat Slamet harus pergi meninggalkan rumah kontrakannya. 

Sejatinya, ada empat sesepuh Dusun Karet yang menerima kedatangan Slamet. Akan tetapi, pengurus RT dan Dukuh Karet bersikukuh pada aturan tertulis di atas.

NB: Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan pemeluk agama tertentu. Saya sendiri memiliki saudara-saudari beraneka agama dalam keluarga besar. Tak mungkin saya sengaja menyakiti mereka dengan tulisan, perkataan, dan perbuatan.

Harus kita akui, intoleransi juga dilakukan sebagian pemeluk agama mayoritas di wilayah non muslim. 

Jogja Tak Lagi Toleran?

Semboyan Jogja adalah Berhati Nyaman: "Bersih, Sehat, Indah, Nyaman". 

Sayangnya, kejadian penolakan berdasarkan sikap tidak toleran terhadap pemeluk agama lain bukan pertama kali ini terjadi di Jogjakarta.

1. Insiden pemotongan salib

Tribunjogja.com
Tribunjogja.com
Salib di makam Albertus Slamet Suagiardi, warga Purbayan KG VI No 1164 RT 53 RW 13, Kotagede, Yogyakarta, dipotong sehingga menjadi berbentuk huruf T. Kejadian ini terjadi Desember 2018. 

Makam itu memang dikelola oleh warga setempat. Nah, karena sejumlah warga menilai makam itu identik dengan makam untuk agama mayoritas, maka terjadilah pemotongan salib itu.

Menurut sebagian warga, keluarga almarhum Albertus sudah menerima hasil kesepakatan dengan warga setempat. 

Tentu saja, tindakan ini tidak mewakili seluruh warga kampung setempat. Banyak warga setempat hadir dan membantu prosesi pemakaman Albertus.

2. Penutupan gereja di Pangukan, Sleman

kbr.id
kbr.id

Pada Juni 2014, sebuah Gereja Pantekosta di Pangukan, Tridadi, Sleman pernah diserang sekelompok orang yang menggunakan penutup wajah. Memang benar, gereja itu menempati rumah seorang warga. Upaya jemaat untuk meminta izin selalu gagal. 

Akibatnya, jemaat harus menyewa gedung dengan harga 1,5 juta setiap hari Minggu. 

Pengurus Gereja mengatakan, "Kondisi ini membuat kami bingung. Kami merasa terkatung-katung karena harus menyewa gedung untuk menyelenggarakan ibadah saja, padahal sebagai warga Indonesia kami mempunyai hak yang sama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang kami anut." Demikian penuturan Alma Kameswara, Majelis Gereja Pantekosta Pangukan.

3. Umat Katolik yang sedang berdoa rosario dan latihan kor diserang

Juni 2014, umat Katolik yang sedang berdoa rosario dan berlatih kor di rumah Julius Felicianus di Perum STIE YKPN, Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman diserang.

Julius, direktur Galang Press, dijenguk Jusuf Kalla
Julius, direktur Galang Press, dijenguk Jusuf Kalla

Julius mengatakan, selama ini warga di sekitar rumahnya juga tak mempermasalahkan kegiatan doa bersama di rumahnya. Akan tetapi, tetiba malam itu sekelompok massa intoleran menyerang rumahnya. Ia pun dianiaya.

4. Gereja Bedog diserang, pastor disabet pedang

http://bali.tribunnews.com
http://bali.tribunnews.com

Empat orang mengalami luka atas penyerangan oleh seorang pelaku bernama SU (23) di Gereja St. Lidwina Bedog, Sleman, Minggu (11/2/2018) pagi.

Pastor yang memimpin misa terluka karena sabetan pedang.

Bagaimana mengembalikan toleransi Jogja Berhati Nyaman?

Sejatinya, sebagian besar masyarakat Yogyakarta toleran. Ada banyak pemuka agama dan pemeluk agama yang rajin bersilaturahmi. Ada Forum Kerukunan Umat Beragama di kota gudeg ini.

Sultan Hamengkubuwono X juga berkali-kali menegaskan keprihatinannya atas rentetan peristiwa intoleransi yang terjadi di wilayah DIY.

Masalahnya, disadari atau tidak, di akar rumput, masih berkembang paham intoleran.

Satu cerita yang saya dengar, ada keluarga-keluarga tertentu yang menganut paham ekstrim bahkan menolak pakaian yang mereka jemur diangkat oleh tetangga. Padahal, tetangga berniat baik mengangkatkan jemuran itu karena hujan tiba.

Keluarga-keluarga itu tidak suka jemuran mereka disentuh orang yang tidak sepaham dengan mereka. Dengar-dengar, keluarga-keluarga ini mencuci lagi jemuran yang sudah disentuh orang "luar".

Aturan intoleran di lingkup dusun kemungkinan bukan hanya berlaku di Dusun Karet. Belum lagi aturan intoleran tak tertulis di kantor, tempat usaha, tempat pendidikan (!), dan organisasi masyarakat.

Hemat saya, Pemerintah Pusat dan Daerah harus bekerja lebih keras lagi untuk mengikis intoleransi yang makin menjamur, bukan hanya di DIY.

Tegaskan kembali Pancasila dan UUD 1945. Aparatur pemerintahan yang tak sepakat dengan nilai luhur kebangsaaan ini seharusnya tidak lagi diberi keleluasaan.

Pengawasan ketat harus diberlakukan pada institusi pendidikan dan pendidik agar tak ada lagi dosen dan guru yang mengajarkan kebencian pada agama lain pada anak didik.

Pemuka agama perlu menjalin kerja sama untuk menebarkan sikap saling menghargai di kalangan warga.

Warga biasa hendaknya mempererat persaudaraan dengan aneka kegiatan bersama yang toleran. Jangan ragu saling kunjung, saling sapa, saling bantu antar pemeluk agama berbeda.

Mari jadikan kampung kita, kantor kita, sekolah kita, tempat usaha kita tempat nyaman bagi siapa pun, tanpa memandang perbedaan agama dan kepercayaan.

Mari gunakan medsos bukan untuk menebar hinaan dan kebencian. 

Salam Bhinneka Tunggal Ika!

Sumber:
https://regional.kompas.com/read/2014/06/02/1516086/JK.Sebut.Bos.Galang.Press.Korban.Pelanggaran.Keras.
http://jogja.tribunnews.com/2014/06/03/jemaat-masih-trauma-dengan-aksi-pengrusakan-di-ngaglik.

https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4494241/perbedaan-agama-membuat-slamet-ditolak-tinggal-di-dusun-karet-bantul 

http://jogja.tribunnews.com/2014/06/02/jemaat-pangukan-harus-bayar-rp15-juta-untuk-beribadah.
https://tirto.id/nisan-salib-status-makam-dan-jejak-intoleransi-di-yogyakarta-dch5.
http://lampung.tribunnews.com/2018/12/18/viral-foto-nisan-makam-salipnya-dipotong-di-yogyakarta-ini-fakta-baliknya.

https://kbr.id/berita/06-2014/kelompok_intoleran_kepung_gereja_di_sleman/57732.html 

http://bali.tribunnews.com/2018/02/11/jemaat-gereja-di-yogyakarta-diserang-pemuda-berpedang-polisi-sebut-pelaku-terpaksa-ditembak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun