Muwathinun
Yang jadi masalah ialah, seperti telah disinggung Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, kata "kafir" kadang atau sering digunakan dalam orasi-orasi kebencian untuk melabeli nonmuslim sebagai kaum yang "pantas dianiaya" atau "patut disingkirkan".Â
NU kini sedang menggodok usulan agar NU menyebut nonmuslim sebagai "Muwathinun" atau warga negara yang setara kedudukannya dengan muslimin dan muslimah. Kiranya usulan ini muncul sebagai reaksi atas penggunaan kata "kafir" dalam orasi-orasi kebencian yang saya sebut di atas.
Kontribusi nonmuslim dalam perjuangan bangsa
Mari kita ingat pelajaran sejarah yang telah kita terima. Kemerdekaan kita adalah buah perjuangan seluruh elemen bangsa, dari Sabang sampai Merauke, dari semua suku, agama, dan ras di Indonesia ini.
Saya ingin menyebut sebagian pahlawan Katolik yang saya tahu: Monsinyur Albertus Soegijapranata (melobi Vatikan agar mengakui kemerdekaan RI. Vatikan menjadi negara kedua yang akui kemerdekaan kita); Komodor Yos Sudarso (gugur di Laut Aru demi lindungi dua kapal lain dari serangan Belanda); Agustinus Adisutjipto (pilot, gugur di Yogyakarta); Ignatius Slamet Riyadi (pahlawan kemerdekaan).
Sila pembaca dari agama-agama nonmuslim  dan penganut kepercayaan memberi informasi mengenai pahlawan nonmuslim lain yang jumlah dan perannya sangat signifikan. Belum lagi para pahlawan tanpa nama dan ratusan ribu, bahkan jutaan warga biasa nonmuslim yang telah berkorban demi kemerdekaan RI yang kita cintai ini.
Menganggap nonmuslim sebagai warga negara kelas dua adalah kesalahan fatal yang mengingkari sejarah luhur Indonesia. Mengobarkan kebencian pada nonmuslim bukan tindakan ksatria.Â
Mengatakan kaum kristiani Indonesia sebagai bagian dari penjajah juga tak bijaksana. Sebagian besar misionaris Katolik warga negara Belanda justru membela bumiputera. Tengok saja sejarah perjuangan Romo Van Lith di Muntilan.Â
Kurang cinta bagaimana sebagian besar misionaris-misionaris Belanda pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan RI pada Indonesia? Banyak sekali sekolah dan rumah sakit mereka rintis demi pendidikan dan kesehatan warga (kelak) Republik Indonesia? Mereka menanamkan cinta tanah air di hati umat Katolik bumiputera. Itulah mengapa, hingga kini, Gereja Katolik Indonesia terus hadir melalui aneka bidang pelayanan: pendidikan, kesehatan, penegakan keadilan, aksi kemanusiaan. Untuk apa? Untuk NKRI.Â