Seorang rekan saya, pastor di Sulawesi berkisah di Facebooknya dengan gaya kocak tentang fenomena unik jelang Pemilu April nanti. Mendadak banyak caleg bertamu ke pastoran dan gereja parokinya. Tetiba mereka yang tadinya tak ia kenal jadi baiiiik sekaliiii...membawa oleh-oleh. Tentu saja teman saya senang sekali menerima oleh-oleh itu.
Suara umat Katolik memang mungkin sedikit. Toh begitu, yang sedikit itu seksi juga bagi para (calon) politisi, baik yang kristiani maupun yang bukan. "Sayangnya", sikap resmi Gereja Katolik adalah bahwa gereja tidak memberi dukungan resmi kelembagaan pada satu kandidat saja.Â
Meski membawa amplop setebal bantal pun, tak mungkin caleg atau bahkan capres mendapat dukungan resmi kelembagaan dari Gereja Katolik. Meski caleg itu pengurus gereja selama berpuluh tahun, tak mungkin ia mendapat hak istimewa untuk didukung resmi sebagai "caleg favorit" oleh Gereja Katolik.
Di Keuskupan Agung Semarang dan juga keuskupan lain, Gereja Katolik secara resmi memberi edukasi politik bagi para caleg dan politisi Katolik. Biasanya diadakan pembekalan bagi caleg Katolik yang maju di Pemilu. Isinya tentang moralitas politik dalam perspektif Katolik.
Secara pribadi, masing-masing uskup, pastor, suster, bruder, dan umat awam menentukan sendiri pilihan politiknya berdasarkan hati nurani dan iman. Calon yang dipilih, idealnya, adalah calon yang visi, misi, dan rekam jejaknya terbilang baik dan berorientasi pada kebaikan bangsa.
Tak pernah saya mendengar, ada anjuran resmi memilih calon seiman (Katolik) dalam lingkup gereja kami. Sekali pun tidak pernah! Bagi kami, pemilu itu memilih pejabat pemerintahan yang mampu mengatur negara, bukan memilih orang tersaleh dalam agama tertentu, apalagi politisi yang harus seagama dan sealiran. Bukankah seharusnya demikian sebuah Pemilu yang cerdas bagi kita, warga Indonesia yang bhinneka ini?Â
Soal keimanan, itu urusan pribadi tiap orang yang harus bertanggung-jawab pada Tuhan. Pemilu adalah soal memilih orang-orang yang tepat untuk membuat, mengeksekusi, dan mengevaluasi kebijakan publik untuk kebaikan negara Pancasila ini. Bahwa politisi harus seorang beriman, itu amanat undang-undang berdasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi soal ukuran kesalehan dan kedalaman iman, itu urusan privat antara tiap pribadi dengan Tuhan.
Dua ribu tahun lalu...
Apa yang terjadi di tempat ibadah kami jelang Pemilu 2019 bukan hal baru. Tempat ibadah dan doa selalu jadi "tempat menarik" untuk orang yang datang dengan berbagai kepentingan. Dua ribu tahun lalu, di Israel pada zaman Yesus berkarya, ada dua kelompok petinggi agama Yahudi yang hobi menampilkan kesalehan mereka di tempat ibadah. Dua kelompok ini adalah ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
Ahli Taurat pandai membaca kitab-kitab suci berbahasa Ibrani. Pada zaman pengajaran dan penginjilan Yesus, ahli-ahli Taurat digambarkan suka memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan (Markus 12:38, 39)
Orang-orang Farisi itu siapa? Kata 'Farisi' berasal dari bahasa Ibrani "Perusyim' yang berarti "Yang Terasing". Orang Farisi adalah penganut murni agama Yahudi. Perhatian pokok mereka adalah menjalankan hukum Taurat secara rinci.Â
Karena sikap yang "memisahkan diri' dari orang lain, akhirnya membuat mereka cenderung memandang rendah kelompok masyarakat yang bukan Farisi. Sikap orang Farisi ialah menganggap diri 'lebih suci', 'lebih benar' dan 'lebih berkenan di hadapan Tuhan' daripada orang lain.
Kritik Yesus terhadap ahli Taurat dan orang Farisi
Injil memuat kritik Yesus terhadap para ahli Taurat dan orang Farisi yang cari pujian dan pengakuan di rumah ibadah:
"Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang  yang lebar dan jumbai  yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi. Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara.
(Injil Matius 23:1-8)
Caleg beribadah
Siapa pun, caleg dari partai mana pun sangat disambut baik untuk datang mengikuti ibadah di rumah ibadah. Tak ada yang salah bila caleg, capres datang beribadah di gereja, misalnya. Namun, motivasi kehadiran di tempat ibadah hendaknya murni untuk ibadah, bukan mencari dukungan dan pengakuan.Â
Baik sekali bila caleg aktif dalam kegiatan di gereja, tapi hendaknya hal ini dilandasi motivasi tulus, bukan semata untuk mengejar fulus dan kuasa.
Bahwa kehadirannya di tempat ibadah secara rutin dan keaktifannya berderma dan berorganisasi nantinya mengundang simpati calon pemilih, itu efek samping saja yang natural. Katakanlah, itu bagian dari "pahala" dari Tuhan untuk orang yang rajin beribadah bersama orang lain dan rajin berbuat baik.
Satu-satunya yang paham kesalehan sejati
Meski begitu, toh kehadiran (calon) politisi (kristiani) di rumah ibadah -secara rutin sekalipun-tak otomatis menjadikan seorang (calon) politisi (kristiani) saleh. Kesalehan sejati yang bisa menilai hanya Tuhan. Tuhan tahu apa isi hati dan motivasi sejati kita saat beribadah di rumah ibadah. Â Tuhan tahu, apakah ibadah kita di rumah ibadah itu untuk memuji-Nya atau untuk mencari dukungan dan pengakuan dari manusia.
Tuhan tahu, apakah kita benar-benar saleh, pura-pura saleh, atau sebenarnya salah. Salah mempolitisasi agama. Menyalahgunakan doa, ibadah, dan rumah ibadah untuk menggapai kuasa dunia demi kepentingan egoistik dan kelompok. Menyalahgunakan ayat suci untuk kepentingan politik duniawi. Memperalat pemuka agama untuk kepentingan egoisnya.Â
Pada akhir zaman nanti, yang saleh, yang pura-pura saleh, dan yang salah -saya yakini- akan diadili Tuhan juga menurut ukuran ini: apakah engkau telah menyalahgunakan hal-hal suci untuk nafsumu berkuasa?
Sekian dan mohon maaf jika kurang berkenan, saya hanya berpendapat dari perspektif saya. Salam persaudaraan. Salam Pemilu Luber Jurdil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H