Sungai adalah nadi kehidupan. Sungai adalah harta bersama yang harus dijaga. Masyarakat modern di perkotaan tahu teori teknik lingkungan dan slogan untuk menjaga kualitas air. Akan tetapi, bukan berarti masyarakat perkotaan lebih disiplin mempraktikkan teori dan slogan tadi. Alih-alih menjaga sumber-sumber air, sebagian masyarakat modern hobi membuang sampah dan limbah di sungai. (Baca).
Long Brun, Surga Kecil di Pedalaman Kalimantan Utara
Desa Long Brun terletak di pertengahan Sungai Brun, anak sungai dari Sungai Kayan, Tanjung Selor. Tanjung Selor adalah ibukota provinsi Kalimantan Utara, provinsi termuda di Indonesia (disahkan tahun 2012).
Satu-satunya alat transportasi menuju Long Brun adalah sampan bermotor. Warga Sungai Kayan biasa menyebutnya sebagai ketinting. Di musim penghujan, air melimpah sehingga ketinting dengan mudah bisa mengantar kita menuju Long Brun. Sebaliknya, di musim kemarau, air Sungai Brun surut sehingga baling-baling ketinting kerap menghantam batu atau kayu. Perjalanan ke Long Brun menjadi makin sulit di musim kemarau.
Rasa lelah setelah berperahu dari Tanjung Selor terbayar begitu memasuki kampung Long Brun. Air Sungai Brun cenderung lebih jernih dibanding air sungai induknya, yaitu Sungai Kayan. Ikan-ikan dengan jelas dapat dilihat saking jernihnya air Sungai Brun. Berenang di air jernih dan tenang sungguh suatu pengalaman surgawi yang bisa dinikmati di Long Brun, surga mini di pedalaman Kalimantan Utara.
Kearifan Lokal Warga Dayak di Long Brun
Saat saya bertugas di Gereja Paroki Mara Satu, Sungai Kayan beberapa tahun lalu, saya beberapa kali mengunjungi Long Brun. Saat itu, satu-satunya sekolah yang ada di sana hanyalah SD. Warga Long Brun yang bisa berbahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari. Maklumlah, SD di Long Brun baru berdiri beberapa tahun. Warga Long Brun yang bisa berbahasa nasional adalah mereka yang bergaul dengan warga kampung lain dalam rangka berdagang atau urusan pemerintahan.
Meski pendidikan formal warga Long Brun masih terbatas, mereka pandai mengelola lingkungan, terutama sungai. Masyarakat Dayak di Long Brun mewarisi kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu kearifan lokal itu adalah pantangan mengotori sungai.
Warga Long Brun tidak buang hajat di sungai. Sungai Brun tak "dihiasi" dengan "toilet-toilet" di sepanjang sungai. Beda sekali dengan situasi di Sungai Kayan. Di sungai induk itu, justru mudah ditemukan "toilet-toilet" di sepanjang alirannya.Â
Warga Brun juga tak buang bangkai binatang atau sisa makanan di sungai. Mereka memberikan sisa makanan pada binatang peliharaan. Karena kearifan lokal itu, air Sungai Brun selalu bersih dari limbah.Â
Mari Belajar dari Long Brun
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yusmada Faizal mengungkapkan, 61 persen aliran sungai di DKI Jakarta tercemar berat. Pencemaran terjadi dalam waktu tiga tahun terakhir . "Pencemaran ada dari grey water itu air cuci mandi, ada black water itu tinja, dan ada juga white water dari industri," ujar Yusmada (5/9/2018).
Permasalahan sungai di Jakarta dan kota-kota besar lain setidaknya dapat sedikit kita ringankan bila kita mau belajar dari kearifan lokal warga Long Brun. Jangan pernah buang sampah sembarangan di sungai. Jangan pernah salurkan saluran tinja langsung ke sungai. Jangan biarkan sungai merana karena limbah kita. Sederhana, bukan? Akan tetapi, mengapa kita orang kota masih saja kesulitan melakukan hal-hal sederhana tadi?Â
- Rujukan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H