Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Kita Heboh Saat Figur Publik Pindah Agama?

24 Januari 2019   18:52 Diperbarui: 28 Januari 2019   09:53 2958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegemparan kita bisa menjadi tanda bahwa pertumbuhan iman kita mandek di tahap ketiga! Kita sibuk mencari figur-figur publik untuk mengatakan "agamaku paling benar", tapi kita sendiri tidak bertumbuh dalam iman, misalnya dengan makin rajin beribadah, berbuat baik, menghargai orang lain tanpa membeda-bedakan SARA.

Alih-alih sebagai pendorong menambah ibadah dan amal, bukankah tak jarang kita memanfaatkan berita artis idola pindah agama untuk mengejek orang beragama lain di medsos? "Lihat, artis aja pindah ke agamaku, berarti agamaku yang paling benar!" Bukankah pernyataan semacam ini yang muncul di benak kita?

Benar menurut Anda bukan berarti benar menurut orang lain. Iya, khan? 

Hemat saya, artis pindah agama itu urusan pribadi masing-masing. Tak perlu larut dalam euforia heboh sesaat. Lebih baik menambah ibadah masing-masing, lebih rajin menyumbang dan menolong orang miskin, lebih hormat dan sopan bermedsos. 

Isu Agama, "Digoreng" Terus untuk Politik
Gejala kehebohan kita saat ada artis idola pindah agama sejatinya terkait pula dengan isu politisasi agama akhir-akhir ini. Saya sarankan Anda membaca pendapat Profesor Sunyoto Usman, Profesor Sosiologi dari Universitas Gajah Mada berikut ini. 

Sunyoto menjelaskan bahwa saat ini, lebih dari sebelumnya, berita terkait dengan agama akan selalu menjadi bahan pembicaraan menarik di masyarakat. 

"Ini mungkin juga bisa disambungkan dengan politisasi agama. Dulu ketika tidak ada isu politisasi agama, orang bereaksi biasa saja dengan berita-berita terkait agama," 

"Politisasi agama muncul ketika isu agama digunakan terus menerus sebagai bahan kampanye. Tak cuma soal pindah agama, masyarakat sangat tertarik dengan identitas agama para politikus dan selebritas. 

Tak jarang, kata pencarian populer terkait tokoh tertentu adalah bukan soal prestasinya, tapi soal agamanya. Pencarian "Susi Pudjiastuti" dalam setahun terakhir misalnya, akan menghasilkan delapan pencarian terkait, tiga di antaranya adalah tentang agama. Ini terjadi, karena "masih banyak pemilih yang tidak rasional, tapi memilih berdasarkan ikatan primordial," kata Profesor Sunyoto. "Isu agama digunakan terus menerus karena itulah isu yang paling gampang dicerna. Agama, adat, dan popularitas dipakai untuk memikat pemilih yang masih banyak merupakan pemilih tradisional," kata dia.

Mari Bercermin
Nah, yuk kita bercermin diri: Apakah aku masih tergolong pemilih tradisional, yang memilih pejabat publik bukan karena mutu dan rekam jejaknya sebagai politisi, tapi melulu karena ia seagama, sesuku, segolongan denganku? 

Saya pribadi memiliki keyakinan bahwa memilih pejabat publik itu seharusnya dibedakan dengan memilih pemimpin lembaga agama. Saya Katolik. Tapi hal itu tak otomatis saya akan hanya memilih calon pejabat Katolik. Apa gunanya saya pilih caleg seagama tapi nyatanya ia bermental koruptor? Nah, paham kan maksud saya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun