Waktu itu, seorang ibu paruh baya tergopoh-gopoh datang ke gereja di pusat kota Asti, tak jauh dari kota Turin (Italia). Saat itu saya mengira, ibu itu adalah tamu yang ingin bertemu dengan pastor kepala. Saya waktu itu hanya bertamu saja di pastoran dan gereja itu. Yang mengejutkan saya, ibu itu ternyata memegang kunci pastoran.
"Loh, Ibu kok punya kunci pastoran?" tanya saya. "Saya sudah biasa keluar-masuk pastoran ini," jawabnya. Lalu saya perkenalkan diri saya padanya. Si ibu ini juga memperkenalkan diri, "Saya Fatima."
Mendengar nama itu, saya mengernyitkan dahi. Jelas bukan nama yang biasa saya dengar di Negeri Pizza ini.
"Ibu Fatima dari mana?" selidik saya. "Oh, saya dari Maroko."
"Oh begitu, lalu kenapa Ibu sering datang ke gereja ini?" tanya saya.
"Saya sudah bertahun-tahun membantu orang-orang imigran di kota ini. Saya ikut bergabung dengan tim kemanusiaan yang ada di gereja paroki ini," terangnya.
"Ibu Fatima katolik, ya?" selidik saya.
"Bukan. Saya muslimah," jawabnya mantap.
Kasih yang Menyatukan
Begitulah perjumpaan saya dengan Ibu Fatima. Ketika tahu bahwa saya datang dari Indonesia, negeri dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, obrolan kami makin nyambung.
Ibu Fatima tinggal dengan suami dan dua anaknya di Asti sejak beberapa tahun lalu. Keluarga mereka sudah menyatu dengan para tetangga mereka. Keluarga Bu Fatima sudah lancar berbahasa Italia.