Mohon tunggu...
Bobby Andhika
Bobby Andhika Mohon Tunggu... -

Profesional bisnis perkapalan, pecinta sejarah dan pemerhati masalah sosial. Pernah menduduki jabatan CEO di beberapa perusahaan perkapalan nasional dan internasional. Sekarang tinggal di Singapura.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hari Ini Saya Ulang Tahun

10 Desember 2015   18:52 Diperbarui: 10 Desember 2015   18:52 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini saya berulang tahun. Tidak ada yang terlalu istimewa selain tradisi ucapan selamat menjelang waktu Subuh tiba dari isteri dan anak-anak tercinta, lengkap dengan lilin di atas kue ulang tahun. Suatu toleransi yang besar dari isteri saya, karena sudah beberapa tahun terakhir dia memutuskan untuk tidak mau merayakan ulang tahun lagi karena dia yakin tradisi ulang tahun tidak ada dalam Islam.

Suatu hal yang tidak saya bantah, karena memang pada awalnya penanggalan Islam tidak mengenal angka tahun. Baru pada masa ke-khalifahan Umar Bin Khattab kalender Hijriyah ditetapkan, sebagai tindak lanjut protes dari salah seorang gubernur yang kebingungan dalam mendokumentasikan surat-surat yang datang dari Khalifah karena hanya memiliki tanggal dan bulan tanpa tahun.

Walaupun isteri saya tidak pernah merayakan ulang tahun lagi, sambil tertawa saya berkata saya akan tetap melanjutkan tradisi di atas, “Kapan lagi orang-orang ingat dan mendoakan saya beramai-ramai kalau bukan pas lagi ulang tahun? Kalau perlu malah ulang hari jadi lebih sering didoain-nya”.

Jangan tanya ulang tahun yang ke berapa, karena untuk orang-orang sebaya saya hal ini tiba-tiba menjadi hal yang cukup sensitif untuk ditanyakan. Bukan karena takut dibilang tua, karena setidaknya untuk kaum laki-laki seperti saya, rambut yang menipis dan memutih ditambah dengan penampakan perut yang umumnya membesar merupakan tanda kematangan dan kedewasaan. Sebagian bahkan berpendapat tanda-tanda penuaan ini bisa membuka aura ke-seksian dari seorang laki-laki.

Jumlah usia tiba-tiba menjadi sensitif untuk sekelompok manusia sebaya saya, karena pada saat lilin ulang tahun ditiup dan ucapan selamat berdatangan, bukan pesta atau makan-makan yang berkelebat di kepala, tetapi pertanyaan-pertanyaan berat dan menakutkan yang hilir mudik datang dan pergi.

Apa yang telah saya lakukan beberapa puluh tahun terakhir di dalam hidup saya? Berapa banyak yang telah saya sumbangkan untuk sesama? Ataukah malah hidup saya telah menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat? Sampai kapan Tuhan akan berbaik hati memberikan saya sehat dan umur untuk saya mengumpulkan bekal di dunia yang fana ini?

Dan yang paling menakutkan adalah pada saat kita berulang-tahun yang ke 17, kita masih punya mimpi setinggi langit, bila dewasa nanti saya kan menjadi ini dan itu. Pada saat lilin di atas kue ulang tahun masih berjumlah tidak lebih dari 30, kita masih dengan semangat yang sangat tinggi berguman sebentar lagi saya akan jadi ini dan itu.

Tetapi sekarang, lilin-lilin itu seolah-olah memberikan kelebatan bayangan-bayangan kecil yang tidak jelas atas apa yang akan terjadi di masa depan.

Akankah anak-anak saya bisa melihat Indonesia seindah dan seoptimis pada saat saya kecil melihat sinetron Rumah Masa Depan di TVRI dulu?

Bisakah anak-anak saya hidup di negara tercinta ini dengan para pemimpin yang dengan tulus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum diatas kesejahteraan pribadinya, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan menipu dan membodohi rakyatnya?

Mungkinkah anak-anak saya dengan jilbab putihnya berkelana keliling dunia tanpa ada kekawatiran akan tatapan-tatapan mata curiga dari tuan-tuan dan nyonya-nyonya berkulit putih yang selalu ketakutan akan munculnya orang-orang yang mampu membunuh sambil meneriakkan nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang?

Orang-orang seperti Setya Novanto yang mampu menjadi Ketua DPR RI yang mulia dan terhormat, bersahabat dekat dengan makelar-makelar berkedok pengusaha terpandang yang dengan penuh hawa nafsu merampok apa yang mereka bisa di negeri ini, membuat saya menangis pesimis atas nasib anak-anak saya kelak.

Ulama-ulama munafik yang dengan tenang dan fasih memutar balik ayat Al Qur’an dan Hadits yang suci untuk kepentingan syahwat dunia mereka membuat saya sesak nafas memikirkan masa depan anak-anak saya.

Manusia-manusia fasis seperti Donald Trump yang memanfaatkan ketakutan, kebencian dan ketidaktahuan untuk meraih kekuasaan membuat saya bertanya-tanya apa mungkin ada kedamaian di dunia untuk anak-anak saya nanti?

Tetapi… hujan lebat dengan diiringi petir dan angin kencang diluar sana tiba-tiba menyadarkan saya. Gusti Allah Mboten Sare!

Presiden koppig yang jelas tidak sarap dan tidak ndableg membuat saya tersenyum optimistis, perzinahan makelar-makelar politik dengan para pengusaha hitam pelan-pelan akan punah masuk museum berita di jamrud Khatulistiwa yang bernama Indonesia.

Ulama-ulama hitam berjubah putih dengan suara menggelegar bagai bom TNT yang dibawa oleh para muridnya bunuh diri, akan ditinggal oleh para pengikutnya, karena para umat sejati akan banyak belajar dari suara lembut diselingi isak tangis Gus Mus, yang rela mencium kaki pengikutnya agar bersama-sama membaca Al Fatihah untuk menenangkan diri dan pikiran dari perpecahan dan buruk sangka.

Pidato kosong Donald John Trump akan menjadi lawakan tidak serius, karena penduduk dunia akan lebih mendengar pernyataan resmi Obama di Gedung Putih yang mengatakan “ISIL does not speak for Islam… vast majority of the terorists victim around the world are moslem… we must enlist moslem communities as some of our strongest allies…”

Akhirnya saya yakin, dunia tempat anak-anak saya hidup nanti akan damai dan indah pada saatnya. Akhirnya saya bisa menikmati manisnya kue ulang tahun yang dibelikan untuk saya.

Optimis. Kita bisa! Indonesia bisa! Dan dunia bisa!

Terima kasih buat Presiden koppig, ulama berhati lembut dan pempimpin dunia yang penuh empati, ulang tahun kali ini saya masih bisa punya mimpi dan cita-cita. 

Singapura 10 Desember 2015, menjelang Maghrib seusai hujan lebat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun