Mohon tunggu...
Bobby Andhika
Bobby Andhika Mohon Tunggu... -

Profesional bisnis perkapalan, pecinta sejarah dan pemerhati masalah sosial. Pernah menduduki jabatan CEO di beberapa perusahaan perkapalan nasional dan internasional. Sekarang tinggal di Singapura.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kenapa Harga Angkutan Laut di Indonesia “Bisa” Mahal?

28 Oktober 2014   13:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesan untuk Jokowi-JK, Pak Indroyono Soesilo, Pak Ignasius Jonan dan Anggota Kabinet Lainnya

Walaupun tidak terlalu nge-fans dengan Ebiet G. Ade karena sebagai remaja tahun 80-an saya lebih akrab dengan Pearl Jam, Nirvana, Metallica atau Guns N’ Roses, entah mengapa lirik lagu “Berita Kepada Kawan” selalu terngiang di telinga pada saat hati galau gelisah melihat lambatnya perbaikan transportasi laut di negara tercinta.

“Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya,
kepada karang kepada ombak kepada matahari,
tetapi semua diam, tetapi semua bisu,
tinggal aku sendiri terpaku menatap langit”

Kenapa harga sapi Bali dari Nusa Tenggara di Jakarta berkali lipat dari tempat asalnya? Kenapa harga BBM di kawasan Indonesia timur pada kenyataannya terkadang jauh di atas harga yang telah ditetapkan oleh Pertamina

Berapa besar sih sebenarnya biaya komponen logistik dalam harga suatu barang? Tidak ada rumus yang pasti yang bisa menjawab ini karena sangat banyak faktor yang mempengaruhi. Tetapi di negara maju, kisaran 10 – 15 % sudah cukup mewakili hampir semua produk barang yang dijual ke konsumen. Sementara untuk Indonesia, dengan tantangan geografis dan ketersediaan infrastruktur yang sangat terbatas, 30 – 40 % adalah angka yang cukup konservatif.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17,508 pulau, angkutan laut sudah tentu menjadi urat nadi dari sistem transportasi di Indonesia. Kebutuhan barang dan jasa harus didistribusikan ke penduduk yang membutuhkan, yang mendiami kurang lebih 6,000 pulau di nusantara.

Transportasi udara sangat mahal dan terbatas, mengandalkan 100 % pada transportasi darat juga tidak memungkinkan karena hampir mustahil kita dapat menghubungkan semua pulau dengan jembatan. Disamping itu, secara ilmiah, dengan kapasitas daya angkut yang sangat besar, transportasi laut adalah moda angkut yang paling murah, efektif dan efisien dari semua moda yang ada.

Dengan kebutuhan seperti yang telah dijelaskan di atas, kenapa baru Jokowi-JK yang secara serius memasukkan pembangunan maritim di dalam program unggulan pemerintah? Bahkan program Pelita Pak Harto pun menekankan Indonesia sebagai negara agraris yang menuju negara industri tanpa menyentuh fakta bahwa Indonesia adalah negara maritim. Baiklah, lebih baik terlambat dibandingkan tidak sama sekali.

Cabotage Law yang menyatakan angkutan domestik antar pulau di Indonesia harus dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia telah diberlakukan. Sedikit banyak ini sangat membantu para pelaku bisnis perkapalan Indonesia untuk bisa berdiri di kaki mereka sendiri, dan menjadikan ini sebagai modal dasar untuk  berkembang menjadi perusahaan pelayaran besar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat internasional.

Setelah cabotage dipakai sebagai “baju zirah” untuk maju berperang, sekarang saatnya sedikit mengerti “senjata” apa yang dibutuhkan oleh pelaku bisnis untuk melayani angkutan transportasi laut kepada para penggunanya dengan baik, efektif dan efisien.

Saya pernah menulis di  artikel ini dalam angkutan laut modern jenis pelabuhan dan jenis kapal harus disesuaikan dengan jenis dan volume barang yang diangkut. Sekali lagi ini adalah sebuah fakta yang harus diterima.

Dengan harapan kabinet kerja akan dengan cepat membuat cetak biru dan mempersiapkan infrastruktur yang dibutuhkan, ada 4 faktor utama yang menentukan harga angkutan laut yang harus dibayarkan oleh pengguna jasa. Hal ini perlu disampaikan dan dimengerti oleh para pengambil kebijakan, sehingga apabila ada pertanyaan kenapa biaya mahal, pengambil kebijakan bisa menjawab dan tidak perlu bertanya kepada rumput yang bergoyang mengikuti saran Ebiet G. Ade dengan suara khas-nya.

Faktor pertama adalah biaya investasi kapal. Pada saat ini harga kapal telah jatuh pada titik yang bisa dikatakan terendah dimuai dari krisis yang diawali oleh bangkrutnya Lehman Brothers pada tahun 2008. Pengusaha perkapalan Indonesia tentu memiliki akses yang lebih dari cukup untuk membeli apabila memang dibutuhkan untuk pengembangan armada nasional Indonesia. Tetapi pengecualian besar yang harus dialami oleh para pengusaha di tanah air adalah tingginya biaya bunga pinjaman yang secara rata-rata lebih dari 2 kali lipat dibandingkan dengan beban bunga yang harus dibayar oleh rekan-rekannya di luar negeri. Secara logika, hampir tidak mungkin kapal-kapal berbendera Indonesia bisa memberikan harga “murah atau lebih murah” bila beban bunga bank yang harus dibayar masih lebih tinggi dibandingkan dengan di negara lain.

Faktor kedua yang tidak kalah penting adalah infrastruktur pelabuhan dimana barang dimuat atau dibongkar. Seberapa cepat, efektif dan efisien operasional itu dilakukan, semakin cepat tentu semakin murah harga yang bisa ditawarkan. Kedalaman alur dan dermaga juga memainkan peranan penting, karena semakin dalam kedalaman laut maka kapal yang bisa digunakan tentu akan menjadi lebih besar. Biaya pelabuhan juga menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari faktor ini. Indonesia memang bukan pelabuhan termahal di dunia, tetapi juga bukan pelabuhan yang murah untuk disinggahi oleh kapal-kapal pelayaran niaga.

Faktor ketiga adalah jumlah barang yang diangkut dan apakah ada muatan kembali untuk kapal tersebut melakukan 1 putaran pelayanan. Mengoperasikan kapal kontainer besar dari Pulau Jawa ke Papua tentu akan menjadi tidak efisien dan malah membuat biaya menjadi jauh lebih mahal karena volume perdagangan yang sedikit, disamping hampir tidak ada barang yang menggunakan kontainer yang harus dipindahkan dari Papua ke Pulau Jawa sehingga kapal harus kembali kosong.

Faktor ke-empat adalah biaya operasional. Dalam era globalisasi pada saat ini, biaya gaji krew kapal, perawatan dan suku cadang kurang lebih sama antara 1 negara dengan negara lainnya. Apalagi kualifikasi krew kapal asal Indonesia sudah diterima dengan cukup baik secara internasional, sehingga pengusaha perkapalan Indonesia mau tidak mau harus membayar gaji yang sesuai dengan standar internasional untuk mendapatkan krew yang baik.

Lain halnya dengan harga dan ketersediaan BBM yang menjadi bagian terbesar dari biaya operasional, yang sampai saat ini menjadi sedikit masalah. Pada saat tulisan ini dibuat, harga resmi pertamina untuk Marine Fuel Oil adalah USD 683.11 per metric ton (diluar pajak) sedangkan di Singapura pada saat ini berada di kisaran USD 470 per metric ton (tanpa adanya pajak). 45 % lebih tinggi tentu sesuatu yang sangat signifikan, apabila ditambahkan PPN 10 persen tentu perbedaannya akan menjadi jauh lebih besar.

Diluar ke 4 faktor di atas, masih ada beberapa keluhan “minor” yang seringkali disuarakan oleh pengusaha perkapalan.

Relatif lambatnya pengurusan alih bendera dari bendera asing ke bendera Indonesia dibandingkan dengan bendera negara lainnya, kerap dikeluhkan walaupun secara jangka panjang hal ini tidak terlalu berdampak pada biaya.

Masalah kepastian penghapusan PPN atas tarif angkutan laut juga masih menggelisahkan pengusaha perkapalan nasional.

Banyak sebenarnya yang ingin disampaikan, tetapi apabila Jokowi-JK, Pak Indroyono Soesilo, Pak Ignasius Jonan dan segenap menteri terkait mau mendengarkan dan membantu memperbaiki faktor-faktor utama yang telah diutarakan di atas, saya rasa Ebiet G. Ade bisa menggubah lirik lagu lamanya menjadi:

“Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya,
kepada karang kepada ombak kepada matahari,
dan semua mendengar, dan semua membantu,
kami semua berdiri tegak menatap langit”

“Dan memang di sana ada jawabnya….”


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun