Sudah empat minggu saya menjadi 'warga Jember' , yang saya kagumi ialah betapa lancarnya jalanannya. Macet adalah hal yang sangat jarang saya temui. Para pengendara mungkin menganggapnya ini sebagai surga. Tempat parkirmu juga begitu. Tak ada parkir liar yang saya temui. Semua sudah jelas. Setiap jalan pasti ada plank dan petugas parkirpun sudah seperti seorang profesional yang mempunyai seragam lengkap. Kagum saya sebagai warga pendatang.
Tapi, ada satu hal yang kurang elok dan harus saya beri saran ke pemerintah Jember, yaitu pedagang liar. Di setiap trotoar di Jember, di kota lain juga, pasti trotoar untuk pejalan kaki dirampas. Ini sangat menganggu para pejalan kaki terutama keselamatan mereka. Â Saya, sebagai warga yang setia berjalan kaki juga merasakan itu. Hak saya untuk menggunakan fasilitas berjalan itu hilang. Beberapa hari yang lalu malah saya sempat keserempet. Sebab, saya berjalan pas dipinggir jalan raya.
Kalau ditelisik dari Undang Undang, memang telah ditetapkan bahwa jalan trotoar itu milik pejalan kaki. Namun, lagi-lagi, dimanapun kotanya itu, seolah-olah para pedagang liar ini acuh. Jember sendiri saya menemui banyak pedagang liar itu di sepanjang jalan Jawa dan Kalimantan. Trotoar disana, para pedagang dan pejalan seolah-olah melumrahkan, melihat pejalan berjalan di dekat jalan lalu lalang kendaraan. Padahal, itu sangat membahayakan. "Wes biasa mas. Ya opo maneh" ujar salah satu pejalan kaki yang saya temui.
Setali tiga uang, para pedagang pun hanya bisa berpasrah melihat 'penyimpangan' tersebut. "Saya tau ada undang-undang memang. Tapi, ini sudah menjadi pekerjaan saya disini", ujar penjual lalapan asal Madura yang berjualan di Jalan Jawa. Lebih lagi, berjualan di trotoar tersebut, menurut para pedagang, menjadi tempat yang strategis untuk berjualan.Â
Pelanggan hanya perlu melihat kesamping jalan dan mampir untuk makan. Makanya, ini menjadi masalah yang dilematis bagi pemerintah Jember sendiri. Jika digusur, berapa banyak keluarga yang akan kehilangan mata pencahariannya. Namun, di sisi lain, ini juga melanggar hukum dan membahayakan para pejalan kaki juga.
Jika solusinya menggusur. Pihak pemkab melalui satpol PP dalam hal ini, juga sebaiknya memikirkan tempat pengganti lapak mereka. Hal ini yang tersulit selama ini dilakukan. Banyak penjual tak mau untuk dipindah tempat, karena alasan tadi tempat strategis.Â
Pembentukan food court atau penyatuan penjual tersebut dalam suatu tempat juga menjadi solusi bodong. Jualan mereka, kata seorang penjual lalapan, akan menurun drastis, sebab pemindahan tempat membuat mereka juga harus melakukan promosi lagi. Dan tidak semua pelanggannya juga berkeinginan untuk ditempat baru nanti. "Kalau seumpama dipindah, ya mohon itu tempat yang strategis dan murah sewanya. Biar harga juga gak naik juga", pungkasnya.
Hal yang sebaiknya dilakukan pada pihak terkait, yaitu pemkab Jember dalam hal ini. Makin mengaktifkan peran dari satpol PP adalah suatu keharusan agar masalah ini tak berlarut-larut dan menimbulkan korban jiwa dikemudian hari akibat perampasan trotoar bagi pejalan kaki. Saya mengambil apa yang dilakukan di kota saya, Malang, sebagai pembanding. Di Malang, satpol PP sangat berperan besar dalam menata jalanan kota Malang.
Sebut saja polemik yang terjadi di pasar Kebalen, Malang. Sebelum ada penertiban dari Satpol PP (Pamong Praja), di daerah tersebut menimbulkan kemacetan yang padat merayap. Jalanan lancar adalah hal yang sangat jarang dijumpai kecuali waktu tengah Malam. Tapi, karena ada musyawarah dari kedua bela pihak yaitu pemkot Malang, dan para pedagang di pasar Kebalen.Â
Akhirnya, menemukan apa yang disebut win-win solution. Saat ini, kemacetan yang disebabkan pdagang yang berjualan di tengah jalan tersebut, peralahan-lahan berkurang. Pasalnya, ada peraturan yang membatasi mereka membuka lapaknya sampai jam 10.00 pagi.
Cara tersebut sangatlah relevan untuk diterapkan di Jember. Kalau saya melakukan observasi di Jember, terutama sepanjang Jalan Jawa dan Kalimantan. Tak pernah saya melihat lapak mereka yang berupa terpal dan bambu kayu atau besi sebagai penyangga dilepas. Atau, dalam arti lain, lapak mereka buka selama 24 jam. Ada baiknya, pihak pemkab dalam hal ini mulai berkomunikasi dengan pedagang liar tersebut. Untuk setidaknya, bernegosiasi tentang waktu buka dan tutup mereka. Tentang pelepasan lapak mereka. Hal ini, sangat mungkin dilakukan sebagai solusi yang moderat.