Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Nilai Strategis Laut China Selatan dan Selat Malaka Bagi China

7 Oktober 2017   16:51 Diperbarui: 9 Oktober 2017   19:03 12144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar belakang
Masalah Laut China Selatan (LCS) dalam 3 tahun belakang ini menjadi sebuah topik yang hangat dibicarakan oleh media global sejak China mengklaim 9-garis sambung (nine dotted line) yang di wilayah Laut China Selatan yang diklaim sebagai wilayah China sejak ratusan tahun yang lalu sebagai wilayah para nelayan ikan China mencari ikan. Tentunya klaim ini ditentang oleh Malaysia, Vietnam, Philipina, dan Kamboja yang memiliki klaim terhadap wilayah LCS tersebut sesuai dengan kesepakatan UNCLOS, yaitu batas 200 mil dari pantai.

Yang tidak pernah di bahas banyak orang adalah mengapa China melakukan hal tersebut, mungkin banyak orang yang akan menduga bahwa untuk mengamankan sumber daya migas yang memang diduga cukup banyak. Tetapi mengapa?

Untuk menjawab hal tersebut perlu kita melihat beberapa hal:

Kebutuhan energi China
China mengonsumsi sekitar 12% dari total produksi minyak dunia atau sekitar 12 juta barrel per hari yang berada pada rangking nomor 2 setelah Amerika yang mengonsumsi sekitar 19 Juta barrel per hari, bandingkan dengan Indonesia yang hanya 1,5 juta barrel per hari.

Sementara GDP per kapita China pada level $8.000 per kapita dengan populasi sekitar 1,3 milyar dibanding dengan GDP per kapita Amerika $35.000 dengan populasi 320 juta.

Para analis memprediksi bahwa pada tahun 2025 konsumsi minyak China akan melebihi Amerika pada kisaran 20 Juta bpod dan pada 2030 akan tembus 25 juta bpod maka kebutuhan per tahun menjadi 9 miliar barrel ini setara dengan 30% produksi minyak dunia. Tentunya ini menjadi masalah besar bagi China karena dengan seluruh kebutuhan minyak negara berkembang akan juga meningkat tajam maka sangat mungkin seluruh produksi minyak di dunia tidak akan mencukupi.

Baca: Forecasting China's Role in World Oil Demand 

Analisa Inilah sebenarnya yang mendasari seluruh strategi geopolitik China yaitu pengamanan sumber daya energi untuk memastikan roda perekonomian dapat berputar terus dan meningkatkan kesejahteraan.

China menyadari bahwa hal ini sehingga penelitian bahan bakar sintesis dari berbagai sumber, salah satu yang diprioritaskan adalah teknologi konversi batubara menjadi BBM dengan pengembangan teknologi Fischer-Tropsch yang telah dipergunakan oleh Jerman pada Perang Dunia II tetapi masih tergolong mahal.

Baca: Speed Urges Over Synthetic Fuel

Peran Laut China Selatan (LCS) bagi China
Sumber minyak dan gas di wilayah Laut China Selatan diperkirakan hampir menyamai Timur Tengah yang sebagian besar berada di luar wilayah 200 mil laut sesuai dengan UNCLOS . Oleh sebab itu China untuk mengamankan sumber minyak tersebut harus mengklaim secara sepihak wilayah tersebut dengan 9 garis putus-putus yang sebenarnya adalah wilayah Vietnam dan Filipina bila menurut UNCLOS.

Alasannya bahwa ratusan tahun yang lalu wilayah tersebut adalah daerah penangkapan ikan nelayan China sesuatu yang sangat absurd. Kita tahu alasan sebanrnya adalah menguasaan sumber kaya minyak

Ada 3 zona migas di LCS (lihat gambar 1). Zona 1, berada persis di luar garis 200 mil China (garis hijau), Zona 2 berada dalam wilayah 200 mil Filipina (garis biru) dan zona 3 berada wilayah Malaysia. Untuk itu China menarik garis untuk mengklaim 3 zona minyak tersebut (lihat gambar 1).

Diduga bila ketiga zona tersebut sudah berproduksi maka akan mencukupi sekitar 40% dari konsumsi minyak China pada 2030.

Baca: The South China Sea Untapped Oil and Natural Gas are Back in Focus

Untuk memastikan bahwa operasi produksi minyak di LCS dapat berjalan dengan lancar, China perlu melakukan proteksi wilayah tersebut dengan membuat 4 buah pulau buatan (gambar bawah) yang tersebar di wilayah LCS khususnya Kepulauan Spartly yang dilengkapi dengan landasan pesawat dan dipersenjatai dengan rudal JL-1 dan JL-2 yang dapat mengancam seluruh wilyah Asia Tenggara serta di dayai dengan PLTN terapung.

Seharusnya TNI menjadikan ini sebuah ancaman yang jelas dan melakukan penguatan terhadap pangkalan Natuna sebagai forward base tapi kenyataannya walaupun sudah dicanangkan tetapi masih tidak terlihat realisasinya. Problem utama pangkalan militer terpadu Natuna adalah daya listrik yang di pakai adalah genset diesel yang solarnya di suplai dari Jawa. Apabila terjadi konflik maka diragukan solar dapat sampai, sekarang saja suplai solar sering telat datang sehingga sangat sering byarpet.

Baca: TNI Bangun Pangkalan Militer di Natuna

Gambar 2 : Kill Zone JL-1 & Jl-2 dapat mencapai jakarta
Gambar 2 : Kill Zone JL-1 & Jl-2 dapat mencapai jakarta
Selat Malaka dan geostrategi China
Selat Malaka sebenarnya merupakan salah satu jalur terpenting dalam perdagangan minyak dunia, karena lebih dari 15 Juta barel per hari minyak melalui jalur Selat Malaka atau jalur terpenting no 2 setelah Selat Hormuz dalam perdagangan minyak dunia. Sehingga bagi Amerika sebagai pengguna minyak nomor 1 di dunia dan China nomor 2, penguasaan atau "control" secara langsung atau tidak langsung terhadap Selat Malaka menjadi penting.

Baca: Balancing Power in Malaca Strait

Tentunya secara de jure penguasa Selat Malaka adalah Indonesia dan Malaysia tapi kita semua tahu bahwa secara de facto yang menguasai adalah Amerika. Hal Inilah yang menjadi kekhawatiran China sehingga dengan berbagai pendekatan ekonomi dan investasi China mencoba untuk dapat ikut memantau lalu lintas Selat mMlaka, salah satunya dengan bekerja sama dengan Malaysia untuk membangun pelabuhan di utara Port Klang yang memakai biaya lebih dari $64 Milyar yang jauh lebih besar dari pelabuhan Singapura.

Mengapa bangun pelabuhan baru padahal Port Klang saja masih under utilized, kenapa tidak Port Klang saja yang di-upgrade? Bila kita melihat beberapa berita salah satu persyaratan China bahwa kapal perang China dapat merapat ke pelabuhan tersebut.

Yang disayangkan bahwa selurruh dunia sangat sadar nilai strategis Selat Malaka, tetapi mengapa Indonesia sampai sekarang tidak melihat selat Malaka sangat strategis?

Baca: Malaysia to Build $64 Billion Port with Support From china 

world-oil-transit-chokepoints-01-59d8a22182386a01351b5f12.png
world-oil-transit-chokepoints-01-59d8a22182386a01351b5f12.png
Gambar 3 : peta jalur perdagangan minyak

Lebih dari 80% kebutuhan minyak China di impor dari Timur Tengah dan Afrika yang semuanya melewati Selat Malaka. Yang menjadi masalah adalah Selat Malaka menjadi chocking point bagi jalur suplai minyak China, di mana bila terjadi konflik antara China dengan Amerika maka Selat Malaka dengan mudah diblokade sebagaimana Amerika "memblokade" Selat Hormuz dan bila itu terjadi maka dalam waktu kurang dari 6 Bulan perekonomian China akan berhenti. Inilah skenario yang ditakuti oleh China dan juga dijadikan strategi utama oleh Amerika dalam konflik dengan China.

Gambar 4 : Selat Malaka Choke point bagi China
Gambar 4 : Selat Malaka Choke point bagi China
Gambar 4 : Jalur transportasi minyak selat malaka

Keberhasilan skenario ini ada pada kepatuhan Indonesia dan Malaysia dimana sampai saat ini kepatuhan tersebut dapat dipastikan akan didapatkan oleh Amerika.

Apakah Indonesia menguasai Selat Malaka?

  • Radar milik siapa yang menguasai wilayah udara di atas selat Malaka? Singapore.
  • Apakah Indonesia memiliki alat dengar bawah laut (hydrophone) untuk mendeteksi kapal selam yang lalu-lalang ? Tidak, justru yang memiliki Amerika.
  • Apakah TNI-AL menempatkan pangkalan kapal perang di pintu masuk selat malaka -- Sabang ? tidak tetapi di Batam yang sangat sulit untuk memantau pergerakan kapal di Selat Malaka.

Jelas bahwa secara de facto Indonesia tidak menguasasi Selat Malaka.

Solusi China terhadap choke point Selat Malaka
China akan membangun terusan yang menembus Thailand sehingga kapal tidak perlu lagi masuk ke Selat Malaka dari Lautan Hindia tinggal tembus ke Laut China Selatan, yang disebut terusan KRA (gambar 3).

Ide pembangunan ini pertama kali dimunculkan pada tahun 1677 oleh Raja Narai tetapi gagal direalisasikan. Pada tahun 1993 muncul kembali pada pemerintahan Raja Chakri, tetapi gagal lagi. Pada tahun 1897 muncul kembali oleh Inggris yang menguasai Burma dan saat itu menginginkan supaya kapal dagangnya ke China tidak melewati selat Malaka tetapi gagal lagi. Pada abad ke 20 beberapa kali muncul tetapi gagal terus karena kepentingan Singapura dan Malaysia yang dapat mendominasi.

Baru ketika pada awal tahun 90-an, zaman Raja Bhumipol proposal ini muncul kembali karena kepentingan China menghindari choke point tetapi proposal ini ditentang oleh Raja Bhimipol, walaupun akan mendatangkan keuntungan bagi Thailand dan memberikan kesejahteraan tetapi ada kekhawatiran akan memecah Thailand menjadi 2 negara, selatan menjadi Islam dan utara, Buddha. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan karena memang bibitnya sudah ada tetapi selalu ditiupkan secara konstan oleh Malaysia dan Singapura yang akan sangat dirugikan bila Terusan KRA ini terjadi.

Gambar 5 : Jalur kereta PAN - ASIA
Gambar 5 : Jalur kereta PAN - ASIA
Ketika Raja Bhumipol wafat dan digantikan oleh Raja Vajiralongkorn, yang berpikiran pragmatis, ia langsung mengijinkan pembangunan Terusan KRA tersebut dengan investasi 28 mliyar yang ditanggung oleh Investor China.

Baca: The Real Threat to S'pore -- Construction of Thai Kra Channel finance by China

Dengan adanya terusan tersebut maka China tidak perlu takut dengan choke point tersebut kemudian kapal-kapal tangker atau barang China dapat berhenti di terusan dan sebagian diangkut via darat dengan kereta api yang merupakan jaringan kereta api Pan-Asia termasuk kereta super cepat ke Thailand, yang diduga pembangunan akan sampai ke Thailand sebelum 2022.

Jalur kereta adalah bagian dari program One-Belt-One-Road (OBOR) yang tidak lain juga adalah skema penguasaan sumberdaya alam dan pengamanan jalur perdagangan China.

Gambar 6 : Sabang dari dan Lhokseumawe jaraknya sangat dekat dengan KRA
Gambar 6 : Sabang dari dan Lhokseumawe jaraknya sangat dekat dengan KRA
Strategi 2 Kaki China untuk ketahanan energi
  • Melakukakan eksplorasi dan produksi minyak di 3 zona di LCS, ini akan memenuhi 40% kebutuhan minyak china dan selebihnya dari Timur Tengah dan Afrika,
  • Melakukan pembangunan Terusan Kra sehinga minyak dari Timur Tengah dan Afrika tidak perlu melalui choke point, selat malaka. Bahkan dapat di angkut melalui darat via rel kereta api bila terjadi konflik di LCS.

Sebenarnya kedua itulah grand strategy geopolitik China di Asia Tenggara ini tidak ada lain hal. Semua kegiatan ekonomi China di Kawasan ASEAN adalah untuk mendukung kedua strategi tersebut.

Hampir semua negara ASEAN memiliki klaim terhadap LCS kecuali Indonesia sehingga dapat di duga peningkatan investasi dan hubungan bilateral China terhadap Indonesia BUKAN karena mereka investasi tapi lebih kepada untuk mengamankan strategi 2 kaki tersebut. -- Selat Malaka (KRA) dan LCS

Kapan ini akan terjadi?
Yang akan dilaksanakan oleh China pastinya adalah pengamanan LCS dahulu. Dapat dipastikan Terusan KRA tidak akan dibangun sebelum pangkalan militer di LCS siap dan operasi produksi minyak terjadi, baru kemudian terusan KRA dibangun. Melihat progress saat ini dapat diduga paling cepat terusan KRA akan dibangun antara 2025 - 2030. Jadi artinya Indonesia memiliki sekitar 10 tahun untuk mempersiapkan perubahan geopolitik di regional ASEAN.

Apa peran Indonesia?
Sebenarnya Indonesia punya peran besar tetapi disayangkan tidak disadari sehingga Indonesia jatuh ke dalam permainan China karena tidak memahami apa yang dimainkan China.

Dengan memahami grand strategy tersebut seharusnya Indonesia menjadikan beberapa pulau menjadi pusat militer dan ekonomi ,yaitu:

  • BELITUNG: Menempatkan pangkalan kapal perang di Pulau Belitung yang dapat memantau ke arah pintu keluar (exit) selat malaka dan dan memantau kapal-kapal yang keluar dari terusan KRA maupun memantau Natuna yang berada di LCS (lihat gambar 1) -- khususnya untuk pangkalan kapal selam sehingga dapat melakukan patroli Selat Malaka dan LCS lebih strategis di banding berada di Natuna,
  • SABANG: Ketika terusan KRA terealisasi yang diduga akan mulai dibagun pasca 2023 maka peran Sabang menjadi sangat strategis bagi kapal-kapal yang antre untuk masuk terusan KRA. Bahan bakar, air dan jasa pelayanan perbaikan kapal. Begitu juga pangkalan TNI-AL harus dibangun menjaga pintu masuk Selat Malaka.. Bahkan Sabang dan Banda Aceh dapat sangat pesat perkembangan ekonominya.
  • NATUNA: Menjadikan Natuna sebagai Forward Base untuk TNI-AL dan TNI-AU untuk menghadapi konflik LCS dengan didayai oleh PLTN mini yang ditempatkan di bawah tanah dan Radar jarak jauh (over the horizon). Saat ini rencana tersebut sudah dibuat, tetapi kelemahan rencana tersebut pada daya listrik yang masih mengandalkan PLTD dengan pasokan solar dari Jawa yang membutuhkan perjalanan lebih dari 7 hari.
  • SELAT MALAKA: Mengambil kembali kendali ruang udara di atas Selat Malaka dari radar Singapore
  • Menempatkan hydrophone bawah laut di sepanjang Selat Malaka yang dikelola sendiri oleh Indonesia. Hydrophone adalah teknologi tahun 40-an yang sangat sederhana yang seharusnya dapat di-design dan dibuat oleh para ahli Indonesia. Kapal selam mini yang sedang dibuat oleh Kemhan dapat dipakai sebagai support tools untuk hydrophone.
  • Melakukan patroli aktif di Selat Malaka memastikan bebas perompak laut serta meningkatkan presence di Selat Malaka untuk menunjukan kedaulatan.
  • Menaruh instalasi rudal anti kapal yang memiliki jarak jelajah 300 Km dengan kecepatan min mach 2 (seperti Brahmos) di wilayah jalur selat malaka untuk mengancam kapal-kapal musuh yang dapat di tempatkan di Selat Malaka di Pulau Rupat dekat dumai yang hanya berjarak 100 Km dari Kuala Lumpur atau dapat ditempatkan pada pada mulut masuk di pulau sabang.

Hydrophone dapat meminitor semua pergerakan di atas air dan di dalam air
Hydrophone dapat meminitor semua pergerakan di atas air dan di dalam air
Bila Indonesia melakukan hal-hal di atas, kami yakin China akan dapat lebih patuh kepada Indonesia dan akan lebih memberikan respect yang tinggi sehingga Indonesia lebih dapat mendapatkan keuntungan lebih dari China dibanding saat ini.

Demikianlah telaahan singkat ini. Semoga menjadi masukan kepada pemerintah Indonesia, khususnya TNI untuk dapat melakukan studi strategis yang lebih komprehensif.

Jakarta 7 Oktober 2017

Bob Soelaiman Effendi
Pengamat Energi dan Militer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun