Alasannya bahwa ratusan tahun yang lalu wilayah tersebut adalah daerah penangkapan ikan nelayan China sesuatu yang sangat absurd. Kita tahu alasan sebanrnya adalah menguasaan sumber kaya minyak
Ada 3 zona migas di LCS (lihat gambar 1). Zona 1, berada persis di luar garis 200 mil China (garis hijau), Zona 2 berada dalam wilayah 200 mil Filipina (garis biru) dan zona 3 berada wilayah Malaysia. Untuk itu China menarik garis untuk mengklaim 3 zona minyak tersebut (lihat gambar 1).
Diduga bila ketiga zona tersebut sudah berproduksi maka akan mencukupi sekitar 40% dari konsumsi minyak China pada 2030.
Baca: The South China Sea Untapped Oil and Natural Gas are Back in Focus
Untuk memastikan bahwa operasi produksi minyak di LCS dapat berjalan dengan lancar, China perlu melakukan proteksi wilayah tersebut dengan membuat 4 buah pulau buatan (gambar bawah) yang tersebar di wilayah LCS khususnya Kepulauan Spartly yang dilengkapi dengan landasan pesawat dan dipersenjatai dengan rudal JL-1 dan JL-2 yang dapat mengancam seluruh wilyah Asia Tenggara serta di dayai dengan PLTN terapung.
Seharusnya TNI menjadikan ini sebuah ancaman yang jelas dan melakukan penguatan terhadap pangkalan Natuna sebagai forward base tapi kenyataannya walaupun sudah dicanangkan tetapi masih tidak terlihat realisasinya. Problem utama pangkalan militer terpadu Natuna adalah daya listrik yang di pakai adalah genset diesel yang solarnya di suplai dari Jawa. Apabila terjadi konflik maka diragukan solar dapat sampai, sekarang saja suplai solar sering telat datang sehingga sangat sering byarpet.
Baca: TNI Bangun Pangkalan Militer di Natuna
Selat Malaka sebenarnya merupakan salah satu jalur terpenting dalam perdagangan minyak dunia, karena lebih dari 15 Juta barel per hari minyak melalui jalur Selat Malaka atau jalur terpenting no 2 setelah Selat Hormuz dalam perdagangan minyak dunia. Sehingga bagi Amerika sebagai pengguna minyak nomor 1 di dunia dan China nomor 2, penguasaan atau "control" secara langsung atau tidak langsung terhadap Selat Malaka menjadi penting.
Baca: Balancing Power in Malaca Strait
Tentunya secara de jure penguasa Selat Malaka adalah Indonesia dan Malaysia tapi kita semua tahu bahwa secara de facto yang menguasai adalah Amerika. Hal Inilah yang menjadi kekhawatiran China sehingga dengan berbagai pendekatan ekonomi dan investasi China mencoba untuk dapat ikut memantau lalu lintas Selat mMlaka, salah satunya dengan bekerja sama dengan Malaysia untuk membangun pelabuhan di utara Port Klang yang memakai biaya lebih dari $64 Milyar yang jauh lebih besar dari pelabuhan Singapura.
Mengapa bangun pelabuhan baru padahal Port Klang saja masih under utilized, kenapa tidak Port Klang saja yang di-upgrade? Bila kita melihat beberapa berita salah satu persyaratan China bahwa kapal perang China dapat merapat ke pelabuhan tersebut.