Belakangan istilah disruption innovation menjadi topik pembahasan yang hangat bukan saja karena merupakan sebuah bentuk inovasi teknologi yang dapat melontarkan sebuah perusahaan kecil melakukan lompatan kuantum sehingga menjadi pemain dominan dalam sebuah sektor industri tetapi juga dapat mematikan pemain lama (petahana) jika tidak siap menghadapi munculnya disruptive technology tersebut.
Pakar marketing Indonesia, Professor Rhenald Khasali dalam buku terbarunya "Disruption" mengatakan bahwa disruption dapat di lihat sebagai kesempatan (opportunity) atau ancaman (threat) tergantung apakah perusahaan itu siap atau tidak.
Sebagai contoh dari disruptive technologyadalah yang terjadi dengan KODAK sebagai sebuah perusahaan film yang sudah berumur lebih dari 100 tahun dan akhirnya harus menyatakan bangkrut karena kemunculan digital camera yang sebenarnya merupakan ciptaannya sendiri. Dalam sektor telekomunikasi, kelahiran mobile phone telah merubah pola bisnis telekomunikasi yang sebelumnya fixed-line phone dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun dan yang terakhir adalah fenomena UBER yang telah membuat pusing taxi konvensional.
Banyak yang mengatakan bahwa sektor energi adalah sektor yang tidak akan terjadi disruption dalam 20 tahun kedepan -- Menurut Kami ini adalah analisa yang salah.
Lesson Learnt KODAK
Lesson learnt yang harus diambil dari kasus disruption adalah: Pertama,  walaupun sebuah perusahaan raksasa industri dengan penguasaan market lebih dari 60% tidak akan luput dari ancaman kebangkrutan; Kedua, tidak ada sektor  industri yang luput dari kemunculan disruptive technology bahkan untuk industri yang sudah matang, seperti energi; Ketiga, Perusahaan harus dapat mengindentifikasi apa sesungguhnya bisnis inti (core business) perusahaan tersebut karena sangat sering terjadi pergeseran market yang tidak disadari; Keempat, Perusahaan harus dapat mengindentifikasi faktor utama (determining factor) apa dari industri tersebut yang terpenting sehingga dapat memprediksi dari mana arah kemunculan disruptive technology muncul.
PERTAMINA sebagai BUMN yang di persiapkan sebagai holding BUMN energi akan sangat rentan bila terjadi disruption maka seharusnya PERTAMINA mengantisipasi terjadinya disruptive technology sehingga dapat menjadi peluang bukan ancaman untuk menjadi keunggulan kompetitif dan dapat bersaing dalam pasar global.
Dalam tulisan ini Kami akan mencoba mengindentifikasi Lesson Learnt keempat, yakni dari mana arah munculnya disruptive technology di sektor energi dan kapan kemunculan itu akan terjadi.
Prasyarat Disruptive Technology
Untuk menjadi disruptive technology, dibutuhkan beberapa prasyarat: (1) Teknologi baru tersebut tidak berkembang secara linier dari teknologi sebelumnya, (2) Teknologi tersebut memberikan hasil/layanan dengan kehandalan yang jauh lebih baik di banding dengan teknologi lama, (3) Biaya yang dibayarkan oleh pengguna lebih murah dibanding dengan teknologi lama. Secara umum distruptive technology selalu dari sisi yang tidak di duga bahkan inkubasi teknologinya tidak di ketahui oleh petahana karena tidak di anggap ancaman.
Hal terpenting adalah bila sebuah teknologi dapat menekan biaya produksi menjadi 10X lebih rendah dari teknologi existing maka distruptionakan terjadi.
Ketika bicara sektor energi maka ada dua kategori umum, BBM untuk transportasi dan listrik, yang keduanya menggunakan bahan bakar 80% berbasis fossil. -- tentunya sebuah destruptive technology tersebut haruslah dapat menggantikan minyak bumi dan batubara sebagai bahan bakar utama.
Dalam sektor energi dari sisi transportasi, efisiensi mesin motor minyak yang hanya di bawah 20% dan pada sektor listrik dimana rata-rata kapasitas faktor pembangkit listrik masih di bawah 65% dengan efisensi dibawah 40% adalah indicator bahwa distruption pasti akan terjadi : 2 kata kunci yaitu : Power Density & Cost Factor.Â
Dengan kata lain power density tertinggi dengan biaya termurah itulah yang menjadi dispruption -- sehingga walaupun biaya renewble energy terus menjadi murah tetapi power density sangat kecil sehingga renewable energy tidak mungkin menjadi disruptive technology untuk sektor energi.
power density adalah fungsi sifat fisika sehingga tidak akan berubah tetapi cost factor adalah fungsi riset dan investasi artinya sejalan dengan waktu dan uang yang di kucurkan maka cost factor akan turun.
Beberapa teknologi yang berpotensi menjadi Disruptive Technology
Ada tiga jenis teknologi yang perlu di pantau perkembangannya menurut kami akan menjadi distruptive technology. Ketiga teknologi ini adalah teknologi yang sudah terbukti (proven) yang mana belum memiliki faktor penentu (certain determining factor) Â dan cost factor yang membuat teknologi tersebut saat ini tidak ekonomis sehingga tidak dapat menjadi disruption bahkan tidak ketahui masih "dibawah radar".
Ketiga teknologi ini memiliki keterkaitan yang sangat erat sehingga ketika ketiganya bertemu dalam sebuah periode (technology convergence) pada saat faktor penentu tersebut ada maka akan terjadi disruption pada sektor energi dan merubah pola bisnis sektor energi  serta akan melontarkan perusahaan yang siap menjadi pemain global.
BBM: Bahan bakar bintesis dari air laut
Naval Research Laboratory (NRL) dari Angkatan Laut Amerika telah berhasil mengembangkan sebuah proses elektrokimia yang memecah hydrogen dari air laut dan menggabungkan dengan rantai karbon sehingga tercipta rantai hidrokarbon dengan kata lain menciptakan minyak dari air laut, sebuah proses yang di sebut electrolytic cation exchange module (E-CEM). Proses ini telah mendapatkan paten pada tanggal 5 April 2016, oleh Kantor Patent dan Trademark Amerika dengan No Paten (USTPO), Patent #9303323.
Bila pada akhirnya teknologi E-CEM ini masuk ke sektor sipil, bayangkan pasti akan membuat bangkrut semua perusahaan minyak. Karena minyak tidak lagi perlu di eksplorasi dan di pompa keluar dari perut bumi tetapi cukup memproses air laut sehingga dunia tidak akan kekurangan BBM.
Tetapi teknologi ini tidak akan menjadi disruption sebelum tersedianya energi yang murah karena proses ini membutuhkan energi yang cukup besar, artinya energi murah ini adalah faktor penentu apakah teknologi E-ECEM dapat menjadi pengganti BBM kendaraan dan ancaman bagi industri minyak.
Salah satu sumber energi skala besar dengan biaya murah hanya akan feasible bila di integrasikan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang menghasilkan panas tinggi seperti beberapa reaktor generasi maju (Gen-4), seperti Molten Salt Reactor (MSR) atau High Temprature Gas Reactor (HTGR) tetapi di sayangkan reaktor generasi maju tersebut baru sebagian besar masih dalam pengembangan dan akan beroperasi secara komersial sebelum 2030.
Listrik Murah: Teknologi Reaktor Generasi-IV
Bila dilihat dari Power Density maka yang memiliki kepadatan energi tertinggi adalah Nuklir tetapi dianggap memiliki persepsi yang negatif dari aspek keselamatan namun sesungguhnya merupakan teknologi pembangkitan listrik dengan tingkat kematian terkecil atau teraman akibat kecelakaan yang di ukur dalam kematian per terra watt jam (death per twh) dimana tingkat kematian terbesar sesungguhnya adalah batubara.
Tetapi PLTN konvensional saat ini juga tidak dapat di katakan sebagai disruptive technology karena biaya pembangkitan listrik Nuklir masih belum dapat bersaing dengan batubara yang menyebabkan raksasa Nuklir seperti Westinghouse gulung tikar. Ini menyebabkan bauran energi Nuklir di dunia masih kecil pada kisaran 11% di banding batubara yang di atas 50%.
Saat ini beberapa tipe reaktor yang di sebut reaktor generasi maju (Gen-IV) yang sebagian besar masih dalam proses pengembangan desain dengan kriteria skala kecil, di buat dengan fabrikasi dan secara modular yang disebut SMR (Small Modular Reactor) yang hampir semua target kriteria desain Gen-IV adalah tingkat keselamatan tinggi dengan sistim pasif yang tidak menggantungkan kepada listrik sehingga kemungkinan terjadinya pelelehan teras (meltdown) seperti Fukushima tidak mungkin terjadi dan dengan biaya produksi listrik yang dapat bersaing dengan batubara.
Hampir semua pengembang reaktor Gen-IV menargetkan dapat beroperasi sebelum 2030. Bahkan pemerintahan Amerika di bawah President Trump akan memprioritaskan pengembangan reaktor Gen-IV yang selama ini terhambat regulasi Nuklir dan lebih di arahkan kepada reactor berbasis air (light water reactor) sehingga banyak pengembang Gen-IV keluar dari Amerika untuk mengembangkan teknologinya.
Beberapa pengembang Gen-IV yang keluar dari Amerika adalah Terra Power yang di miliki oleh pendiri Microsoft, Bill Gates yang akan membangun reaktor yang di sebut Travelling Wave Reactor yang rencananya akan di bangun di China.
Kemudian Thorcon Power, yang telah menandatangani MOU dengan tiga BUMN yaitu: PLN, PERTAMINA dan INUKI pada bulan Oktober 2015 untuk pengembangan prototipe 500 MWe Thorium Molten Salt Reactor (TMSR-500) di Indonesia berdasarkan desain terbukti (proven) MSRE yang pernah beroperasi selama 13,000 pada tahun 1960an.
Kajian awal (pre-feasibility study) telah diselesaikan pada bulan Oktober 2016 dengan kesimpulan bahwa TMSR-500 adalah teknologi yang feasible dan dapat menghasilkan listrik dengan biaya yang bersaing dengan batubara oleh sebab itu layak di bangun di Indonesia.
Saat ini proyek ini masih dalam kajian dan di pertimbangkan tetapi kalaupun pada akhirnya TMSR-500 tidak dapat di bangun di Indonesia karena politisasi Nuklir yang cukup kuat maka Kami yakin negara lain di ASEAN akan siap menerima seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia yang akan menjadi kerugian bagi Indonesia.Â
Beberapa pengembang MSR lainnya menargetkan pengoperasian secara komersial MSR mereka sebelum 2025, salah satunya adalah Terresterial Energy di Canada yang tahun 2018 sudah akan memasukan permohonan perijinan pada regulator Nuklir Canada dan 2019 kepada regulator Nuklir Amerika.
Baterai Nuklir: PU238
Salah satu hambatan pengembangan mobil listrik adalah baterai yang juga menjadi kendala karena teknologi baterai saat ini belum cukup dapat menyimpan listrik dalam waktu lama dan umur baterai yang tidak lebih dari 5 tahun. Walaupun ada beberapa teknologi baterai yang memiliki performa yang sedikit lebih tinggi dibanding teknologi baterai konvensional seperti yang di desain oleh Tesla tetapi baterai tersebut tergolong sangat mahal.
Sesungguhnya sejak tahun 1960'an sudah di temukan sejenis baterai Nuklir yang memanfaatkan panas peluruhan (decay heat) Plutonium-238 yang di sebut Radioisotope Thermoelectric Generator (RTG) yang sampai saat ini masih dipergunakan oleh NASA untuk pesawat jelajah jauh ruang angkasa (deep space exploration) yang di pergunakan untuk perjalanan dimana tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk menghasilkan listrik seperti untuk misi ke Planet Mars.
Salah satu keunggulan RTG adalah dapat menghasillan listrik lebih dari 30 tahun dengan tingkat radiasi sangat kecil sekali bahkan pada awal pengembangan alat pacu jantung (pacemaker) pada tahun 1970an, baterai yang dipergunakan adalah PU-238 (nuclear pacemaker) yang sempat dibuat lebih dari 100 unit tetapi karena katakutan masyarakat terhadap radiasi pemakaian PU-238 untuk pacu jantung dihentikan walaupun  semua pasien yang memakai pacu jantung Nuklir tidak terdeteksi adanya paparan tingkat radiasi yang tinggi, masih dalam ambang batas normal walau setelah pemakaian lebih dari 25 tahun.
Bahkan sampai sekarang di Amerika masih ada sekitar 50 pasien yang memakai pacu jantung Nuklir tersebut. -- Saat ini alat pacu jantung yang memakai baterai lithium yang harus di ganti setiap 5 tahun dimana penggantian baterai tersebut harus dilakukan dengan melakukan pembedahan yang memiliki resiko.
Faktor penentu yang akan menjadikan baterai Nuklir ini sebuah produk komersial adalah beroperasinya reactor Gen-IV yang memakai bahan bakar thorium seperti yang di rencanakan oleh Thorcon yang mana by product dari produk fisinya adalah PU-238 yang dapat di manfaatkan sebagai baterai Nuklir dengan biaya murah.
Sehingga produksi baterai Nuklir dapat bersaing dengan baterai lithium dengan kapasitas daya yang jauh lebih besar. Bayangkan bila mobil listrik yang memakai baterai Nuklir maka mobil tersebut tidak membutuhkan untuk mengisi baterai selama umur mobil tersebut. -- Disruption terbesar yang menghantam industri minyak dalam 20 tahun kedepan adalah BBM sintesis dan baterai Nuklir yang dapat menggantikan BBM transportasi.
Menurut Tony Seba, penulis buku "Clean Disruption", 10 tahun setelah kemunculan mobil listrik yang memiliki jarak jelajah minimal 500 km dalam sekali charge dengan yang harga jualnya setara dengan mobil BBM  maka lebih dari 90% kendaraan akan menjadi kendaraan listrik.
Ketiga teknologi tersebut, BBM sintesis dan Baterai Nuklir memiliki factor penentu yang sama yaitu adanya reactor Nuklir yang dapat menghasilkan listrik murah dengan byproduct panas, yang mana TMSR-500 sangat tepat. Ketiga teknologi tersebut  Kami duga akan bertemu (converging) dalam kurun waktu 15 -- 20 tahun ke depan dan ketika ini terjadi akan merubah pola bisnis semua perusahaan yang bergerak dalam sektor energi. -- Semoga PERTAMINA sudah siap menghadapi perubahan distruptive technology ini.
Jakarta 5 Agustus 2017
Bob S. Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H