Sebenarnya energi terbarukan menyembunyikan segudang masalah besar, yang saya tulis secara detail dalam tulisan saya "Energi Terbarukan dan Permasalahanya" yang selama ini dikesamping dan tidak dibahas sama sekali. Tetapi premis utama bahwa ET mengurangi emisi gas rumah kaca ternyata dalam prakteknya di negara2 eropa tidak terjadi, justru meningkatkan emisi karena backup gas tubin dan genset diesel karena rendahnya kapasitas ET.
Secara umum beberapa permasalahan energi terbarukan seperti Surya dan Angin adalah :
- Harga Produksi listrik mahal, butuh subisidi. -- Pada akhirya menaikan tarif listrik ke masyarakat.
- Capacity Factor rendah, maka harus di backup dengan fossil juga (gas/diesel) -- Emisi CO2 meningkat.
- Densitas Energi yang kecil, sehingga membutuhkan lahan yang luas sekali. untuk 1000 MW Surya butuh lahan seluas DKI, Angin butuh lahan seluas Bandung sementara Nuklir hanya 30 hektar.
- Tidak dapat dipakai sebagai baseload.
- Gampang rusak (khususnya Surya).
- Skala Kecil, hanya feasible dibawah 50 MW. diatas itu lahan yang di pergunakan hampir mustahil di dapat.
Angin dan Surya lebih tepat dipergunakan untuk pulau ataupun daerah terpencil dan perumahan pribadi bukan untuk pembangkitan listrik skala besar.
Persoalan fundamental energi terbarukan sebenarnya adalah, tidak terkonsentrasi (diffused) dan densitas energi (energi denstity) yang rendah, sehingga tidak menjadikannya ekonomis, yang dapat tergambarkan dalam apa yang disebut Energy Return On Invesment(EROI) bertambah tinggi EROI, maka bertambah ekonomis energi tersebut. Sebagai contoh, untuk biofuel output (return) 1,3X dari yang di input (investment) -- EROI tertinggi adalah Thorium Molten Salt Reactor (PLTT)
1,3X Biomass/Biofuel
7X Solar PV (Surya)
10X Natural Gas (Gas alam)
18X Wind (Angin)
80X Nuclear (PWR)
80X Coal (batubara)
100X Hydropower (PLTA)
2000X Nuclear (Th-MSR/LFTR) --> PLTT
Meningkatkan Subsidi Listrik
Konsumsi Listrik pada 2025 di perkirakan 600 TWh (terra watt hour) dimana sekitar 132 TWh (23%) adalah EBT dengan subsidi EBT diperkirakan Rp200/kwh maka dana yang harus di keluarkan negara sekitar 26 triliun/tahun belum lagi subsidi listrik daya rendah dibawah 900 VA, yang tidak bisa di hindari Karena bagi masyarakat miskin menjadikan total subsidi dapat mendekati 200 triliun per tahun pada 2025 atau sekitar 10% dari APBN Indonesia. -- Padahal dalam Nawacita, Presiden Jokowi sudah mencanangkan penurunan subsidi listrik, justru ESDM malah mencoba untuk menaikan subsidi tersebut artinya melanggar Nawacita.
Guru Besar Fisika Nuklir ITB, Prof Dr. Abdul Waris menyampaikan dalam sebuah diskusi :
“Beberapa kendala yang cukup berat terkait pengembangan EBT non-nuklir di Indonesia adalah potensi yang kecil dan tersebar, investasi yang tinggi dan letak kebutuhan energi jauh dari lokasi potensi energi, serta kelayakan teknologi yang masih dipertanyakan untuk beberapa sumber. Akibatnya biaya produksi listrik akan besar, dan akan memaksa pemerintah untuk memberikan subsidi agar harga jual listrik sesuai dengan daya beli masyarakat luas. Oleh karena itu untuk menghasilkan energi listrik yang murah hanya mungkin direalisasikan dengan memanfaatkan energi nuklir sebagai sumber energi utama dan didukung oleh sumber EBT yang lain”
Problem berikutnya adalah belum jelasnya mekanisme pembayaran subisidi EBT ini karena belum di bahas dengan kementrian keuangan. PLN jelas hanya ingin membeli Listrik pada angka keekonomisan yaitu 9 sen/kwh maka bila ESDM memerintahkan untuk membeli ET dengan FIT maka harus ada subsidi yang jelas apakah ke PLN langsung sebagaimana subsidi Listrik daya rendah atau seperti yang di usulkan oleh ESDM melalui sebuah badan khusus yang membeli Listrik ET dan kemudian badan ini menjualnya ke PLN pada nilai keekonomisan. – Jelas usulan ESDM ini akan menambah panjang rantai suplai dan peluang permainan.
Petunjuk Wakil Presiden