Di Indonesia, tidak banyak ahli Nuklir yang menyadari tentang TMSR. Bahkan ESDM dan BATAN dalam Buku Putih PLTN 5000 MW, menargetkan Indonesia akan mengoperasikan PLTN pertama pada 2030 dengan pilihan Pressurised Water Reactor (PWR) -- yang harus di ingat adalah Buku Putih tersbut adalah perencanaan 15 tahun dari sekarang yang mana saat itu PWR sudah menjadi teknologi usang (apalagi isu proliferasi yang bertambah kuat - PWR menghasilkan Plutonium) yang tidak akan lagi dipakai setelah kemunculan MSR atau reaktor generasi ke IV lainnya.Â
Seharus sebuah perencanaan jangka panjang di atas 5 tahun tidak saja melihat teknologi apa yang ada sekarang tetapi mempertimbangkan apa yang sedang dalam pengembangan. -- Ingat hanya di butuhkan waktu 10 tahun untuk teknologi seluler menggantikan dominasi fixed line telephone dan 5 tahun kemudian seluler dapat mengakses internet -- Bila saja pihak Telkom berpikir seperti ESDM dan BATAN dan tidak mendirikan PT Telkomsel pada tahun 1995 ketika seluler baru saja muncul, sangat mungkin saat ini PT Telkom sudah bangkrut. Karena faktanya Income terbesar PT Telkom adalah dari Telkomsel.
Dari sisi bahan bakar menurut data BATAN sendiri dalam Buku Putih PLTN, Indonesia hanya memiliki Cadangan Uranium 63.000 ton yang hanya cukup untuk 7 PLTN berdaya 1000 MW selama 40 tahun – sementara di buku yang sama BATAN menulis bahawa cadangan Thorium ada sekitar 121.500 (1 ton/tahun untuk 1000 MW) artinya cukup untuk 121 PLTN TMSR berdaya 1000 MW selama 1000 tahun. – Jelas thorium adalah pilihan yang rasional di banding Uranium.
Dari sisi keekonomisan BATAN dan ESDM masih menghitung biaya pembangunan PLTN pada kisaran USD 7 Juta/ MW padahal dalam dokumen IAEA tentang Small-Modular-Reactor (SMR), di perkirankan reaktor generasi IV SMR akan di desain dengan target biaya di kisaran USD 3 juta / MW. Professor B. Joseph Lassiter dari Harvard Business School membuat analisa bila Nuklir akan memberikan dampak kepada pengurangan emisi rumah kaca maka Nuklir harus lebih murah dari PLTU batubara dan PLTG yang saat ini biaya listriknya termurah di Amerika USD 2,5 sen/Kwh. Untuk itu ia membandingkan 3 kategori reaktor nuklir, Gen III+ keluarga LWR (AP1000, NuScale), Gen IV Non-MSR (Terrapower, Prism) dan Gen IV MSR (ThorCon, Transatomic, Terresterial Energy) -- Hasilnya adalah Gen IV turunan MSR pada 2025 akan lebih murah biayanya daripada PLTU batubara dan dengan pengembangan teknologi MSR akan menjadi lebih murah dari 2,5 sen/kwh pada tahun 2050. - Tentunya bila kita melakukan perencanaan jangka panjang teknologi dalam pengembangan seperti Gen IV Â ini harus di masukan kedalam kosideran.Â
Pada tahun 2030 China dan India sudah mulai akan mengoperasikan TMSR 1000 MW dan pada saat itu sangat mungkin China akan sudah akan menjual TSMR ke Indonesia dengan harga murah -- Bila Indonesia ingin memiliki kemandirian energi melalui penguasaan teknologi nuklir inilah saatnya sebagaimana di amanatkan oleh Presiden Soekarno ketika meresmikan reaktor nuklir pertama di Bandung pada tahun 1965, satu tahun sebelum Jepang memiliki reaktor Nuklir. Tetapi 57 tahun kemudian setelah memiliki 3 reaktor eksperimen, 2 lembaga Nuklir (BATAN dan BAPETEN) dan 2 fakultas nuklir (ITB, UGM) Indonesia masih bermimpi memiliki PLTN.
Selanjutnya Kami mengusulkan TMSR atau PLTN Thorium disebut PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) untuk membedakan dengan PLTN (LWR) yang selalu identik dengan Uranium/Plutonium.
Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan masukan bagi para pengambil keputusan di Indonesia untuk dapat mengkaji ulang perencanaan energi masa depan Indonesia, khususnya Nuklir.
Jakarta 10 Juli 2015